Selasa, 04 Oktober 2011

TRANSAKSI YANG BERHUBUNGAN DENGAN MANFAAT: IJARAH, QARD DAN WAQF


TRANSAKSI YANG BERHUBUNGAN  DENGAN MANFAAT: IJARAH, QARD DAN WAQF
Oleh: Saiful Bahri


A. PENDAHULUAN
Bank Syari’ah dan Lembaga Keuangan Syari’ah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas masih terfokus pada produkproduk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli.
Perbedaan antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual belikan yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa. Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang dan jasa.
Qard adalah Pinjaman; Suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima. Qard terdiri dari Qard Muqayyad,  Qard al-Kharijiy dan Qard al-Hasan.
Wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya dengan syarat substansi harta itu kekal, yang dilakukan dengan cara memutuskan hak penguasaan terhadap harta itu baik oleh orang yang berwakaf maupun orang lain, disalurkan untuk penggunaan yang halal -atau memanfaatkan hasilnya untuk tujuan kebaikan- dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.
B. IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’i berpendapat ijarah berarti upah mengupah.[1] Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.[2]
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).[3]
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.[4] Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.[5]
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa[6]. Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian[7].
Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu[8] :
a.       Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah

Ijarah (sewa menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara tau milik pribadi untuk disewakan (dikontrakkan).

2. Dasar Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah [9]:
a. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32
Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu?Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan .


b. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233 :
Artinya : ….Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

c. Al-Qur’an surat al-Qashash : 26 :
Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambi untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.


3. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah[10] :
  1. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
  2. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
  3. Sighat yaitu ijab dan qabul.
2. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
  1. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
  2. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
  3. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
  4. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan[11]:
1.   Rukun dan Syarat Ijarah :
  1. Pernyataan ijab dan qabul.
  2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa  (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
  3. Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
  4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
  5. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).

2.   Ketentuan Objek Ijarah :
  1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
  2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
  3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
  4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
  5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
  6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
  7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
  8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
  9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

3. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah:
-         Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa :
a.   Menyediakan aset yang disewakan.
b.   Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c.   Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
-         Kewajiban nasabah sebagai penyewa :
a.       Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (materiil)
c.       Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.


C. QARD
1. Pengertian Qard
Menurut bahasa: Qardh adalah pinjaman. Sedangkan menurut istilah ulama fiqh: pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Pengembaliannya di tetapkan dengan nilai semisal.
Akad Qardh disebut juga sebagai akad Tamlik, dalam artian objek yang dipinjamkan menjadi milik si peminjam secara keseluruhan setelah serah terima barang. Maka dia akan bertanggung jawab jika terjadi kerusakan dan akan mengembalikannya dengan barang yang senilai atau semisal, bukan barang yang sama ketika akad. Dengan demikian, akad ini termasuk akad tabarru’ (transaksi social atau non-komersil).
Dengan kata lain Riba dalam Qardh adalah Riba atau penambahan nominal yang diwajibkan/disyaratkan dalam pengembalian pinjaman Qardh.

2. Perbandingan Qardh dengan Akad Muamalah Lainnya
2.1 Akad jual beli
Jual beli adalah tukar menukar barang dengan uang atau yang lainnya. Maka si pembeli membayar harga barang tersebut dan dia menerima barangnya pada saat akad. Perbandingannya dengan Qardh adalah:
v     Di dalam jual beli pemindahan hak kepemilikan yang terjadi adalah secara mutlak, sedangkan di dalam Qardh adalah besifat sementara.
v     Di dalam jual beli biasanya terdapat unsur keuntungan, sedangkan dalam Qardh lebih bersifat social (tidak ada untung rugi).

2.2 Jual beli as Salam (in-front-payment sale)
Dalam pengertian yang sederhana bai’ as salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka.

2.3 Hibah
Hibah adalah pemberian secara suka rela dari pemberi hibah kepada penerima hibah yang dibuat atas dasar kasih sayang tanpa menerima balasan.

2.4 Wadiah (titipan)
Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
2.5 ‘Ariyah (pinjam-meminjam)
Pengertian ariyah menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah adalah pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.

3. Hukum Qardh
3.1 Dilihat dari pihak yang meminjamkan
v     Mandub dengan niat untuk membantu, apalagi kalau si peminjam dari golongan fakir dan miskin.
v     Terkadang menjadi wajib jika melihat kondisi si peminjam yang akan menyebabkan kemudharatan terhadap hidupnya jika tidak dibantu. Apalagi kalau yang meminjamkan adalah orang kaya raya.
v     Dan juga bisa menjadi mubah (boleh qardh,boleh tidak) jika tidak ada kemudharatan di dalamnya.
v     Makruh (lebih baik tidak) jika yang meminjamkan tahu bahwa masih ada yang lebih membutuhkan untuk dibantu. Dan juga jika dia mengetahui bahwa harta yang dia pinjamkan akan digunakan untuk hal-hal yang dibenci seperti bermewah-mewah.
v     Haram apabila harta yang dipinjamkan akan digunakan untuk hal-hal yang haram.
3.2 Dilihat dari pihak si peminjam
v     Qardh diperbolehkan untuknya jika dibutuhkan.
v     Terkadang menjadi mandub jika melihat itu dapat mengurangi beban kebutuhan dan membantu dalam melaksanakan kewajibannya.
v     Dan mungkin menjadi wajib jika Qardh itu dapat menyelamatkan hidupnya dan keluarganya.
v     Makruh apabila akan digunakan untuk hal-hal yang dimakruhkan atau yang tidak penting.
v     Haram jika dipergunakan dijalan yang haram dan untuk hal-hal yang diharamkan.





4. Aplikasi Qardh dan aturan-aturan agar terhindar dari Riba
4.1 Sedikit banyaknya jumlah bunga yang diambil
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak fuqoha kontemporer yang mencari-cari alasan agar penarikan bunga dalam hutang piutang diperbolehkan. Salah satu alasan mereka adalah dengan membedakan riba yang berjumlah sedikit (usury) dan riba yang berjumlah banyak (interest). Menurut mereka, riba yang diharamkan oleh Allah dalam Al- Qurân adalah riba dalam jumlah besar. Tapi diperbolehkan jika dalam jumlah yang sedikit. Untuk menguatkan pendapat tersebut, mereka mengutip ayat 130 dari surah ‘Ali Imrân.
Dengan menggunakan ayat di atas, mereka berkata bahwa riba yang dilarang adalah riba yang berlipat- lipat. Secara sepintas, ayat di atas memang hanya melarang pengambilan bunga yang berlipat- lipat. Namun jika kita memahami ayat ini dengan mencermati kembali ayat- ayat lainnya secara komprehensif, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa riba, apapun bentuknya mutlak dilarang.
Redaksi berlipat-ganda pada ayat ini menegaskan karakteristik riba secara umum. Bahwa riba cenderung berkembang dan berlipat ganda bersama tempo yang dihabiskan. Bukan mengenai pengharaman pengambilan riba dalam jumlah yang banyak dan memperbolehkan pengambilannya dalam jumlah yang sedikit. Pemahaman terbalik seperti inilah yang digunakan oleh para pemikir-pemikir kontemporer untuk menguatkan pendapat mereka. Maka dari itu, kita harus selalu berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap nash tersebut. Sebab, jika kita terus menggunakan metode pemahaman ayat- ayat Al-Qurân seperti itu (mafhum mukhâlafah), maka hal ini bisa sangat berbahaya.
Sebagai contoh, pada ayat di atas kita dilarang untuk memakan daging babi. Jika kita menafsirkan ayat tersebut menggunakan mafhum mukhâlafah, berarti yang dilarang oleh Allah SWT untuk dimakan lewat ayat ini adalah daging babi saja. Sementara darah, lemak dan lainnya tidak disebutkan. Maka apakah darah dan lemak halal, dengan melihat tidak disebutnya darah dan lemak babi di ayat ini?
Kembali kepada pembahasan ayat 130 surah ‘Ali Imrân tadi. Kita tidak dapat mengatakan bahwa yang banyak tidak diperbolehkan, sedangkan yang sedikit diperbolehkan. Apakah dalam dilarangnya meminum khamar ada pengecualian dalam jumlah sedikit dan tetap mengharamkan meminumnya dalam jumlah banyak?
Dan jika dikaitkan ke ayat-ayat sebelumnya mengenai pengharaman riba, tidak ada celah untuk mengatakan bahwa pengambilannya dalam jumlah sedikit diperkenankan. Sebab tidak ada penjelasan satu pun dari ayat- ayat tersebut yang membedakan antara riba dalam jumlah sedikit mupun banyak.

4.2 Penggunaan uang pinjaman untuk kebutuhan tersier
Beberapa pemikir berpendapat bahwa jika pinjaman tersebut ditujukan bagi fakir miskin, maka hukum penarikan bunga di dalamnya adalah haram. Karena mereka benar- benar butuh untuk memenuhi kebutuhan utama atau primer mereka . Dan jika kita menarik bunga dari mereka, berarti sama saja kita tidak membantu mereka. Melainkan menzalimi mereka. Sebaliknya, jika yang meminjam di sini adalah orang kaya. Riba yang mereka ambil dari hutang orang- orang kaya, maka halal hukumnya. Sebab, menurut mereka peminjam di situasi ini menggunkan uang pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan tersier mereka. Yang kalaupun ditarik bunga dari uang pinjaman tersebut, tidak akan menzalimi orang kaya tersebut. Menanggapi pandangan ini, ditegaskan kembali bahwa qardh atau pinjaman apapun baik digunakan untuk kebutuhan primer maupun tersier oleh sang peminjam, selama didalamnya terdapat bunga. Maka ini adalah riba yang diharamkan.
Firman Allah SWT dalam Al-Qurân, al-Baqarah ayat 279 dan 280:
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
Kedua ayat yang membahas mengenai qardh ini, tidak membedakan antara peminjaman baik yang kemudian digunakan untuk kebutuhan tersier maupun kebutuhan primer. Begitu juga dengan sabda-sabda Rasulullah mengenai qardh . Tidak ada pengecualian dalam penarikan bunga qardh untuk kebutuhan tersier di atas kebutuhan primer.
Memang, pengertian qardh dalam perspektif fikih Islam, adalah akad irfâq . Dalam artian sebenarnya diperuntukkan kepada para muhtâjĭn. Dengan tujuan tolong-menolong antara seorang peminjam yang membutuhkan pinjaman dengan orang yang pemberi pinjaman. Kendatipun demikian, kalaupun ada seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang kaya, tidak diperkenankan menjadikan didalamnya sebuah bunga tertentu.

4.3 Penggunaan uang pinjaman untuk biaya produksi
Islam mengharamkan semua jenis riba qardh tanpa pengecualian dan tanpa membedakan antara qardh istihlâkiy (digunakan untuk kebutuhan komsumtif) atau qardh intâji y (digunakan untuk kebutuhan produktif).
Dan mengenai qardh tijâriy (digunakan untuk modal berdagang), jenis qardh ini telah ada di dalam masyarakat arab pada zaman Rasulullah, bahkan di pada masyarakat Yunani. Dan pengecaman terhadap penarikan bunga bukan hanya dilakukan oleh Islam. Tapi juga dilakukan oleh para ahli filsafat Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Begitu juga dengan Cato dan Cicero, para ahli filsafat Romawi. Mereka menolak praktek pengambilan bunga dengan alasan yang kurang lebih sama, bahwa hal ini bisa menyebabkan perpecahan, juga mengenai fungsi asal uang yaitu sebagai alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.

4.4 Apakah Qardh Merupakan Pengecualian dari Bentuk Riba Nasa’?
Sebelumnya kita telah membahas tentang riba dalam jual beli, khususnya riba nasa’. Yang mana jika terjadi jual beli antara emas dengan emas, perak dengan perak atau barang ribawi yang sejenis lainnya maka diharamkan adanya riba nasa’ dan juga riba fadhl. Kalau hal ini diterapkan pada qardh maka akad ini menjadi tidak boleh karena menukar dua barang sejenis dengan tenggat waktu (nasa’). Namun karena akad qardh dibolehkan bedasarkan nash dan ijmak, maka para ulama menetapkan bahwa qardh merupakan pengecualian dan rukhsah dari riba nasa’ yang diharamkan.
Namun, memasukkan akad qardh dengan riba nasa’ adalah tidak tepat, karena riba nasa’ merupakan riba jual beli. Hadits-hadits yang melarang riba berkaitan dengan riba jual beli dan riba qardh tapi tidak ada kaitannya dengan akad qardh.
Akad qardh lebih mirip dengan akad ‘ariyah (pinjam meminjam) dilihat dari sisi tabarru (sosil/tolong menolong). Namun demikian, ada hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu bahwa menjual emas dengan emas atau gandum dengan gandum secara cara nasa’ (penangguhan) adalah tidak boleh, tapi jika dilakukan dalam akad qardh maka dibolehkan karena akad itu mengandung unsur kemaslahatan bagi orang yang meminjam.
4.5 Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli
Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli meski merupakan kesepakatan kedua belah pihak secara terang-terangan ataupun secara tersirat, hukumnya haram sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan jika riba tersebut tidak disyaratkan dan diberikan ketika pelunasan utang atau setelahnya maka hukumnya boleh pada qardh menurut kesepakatan ulama.
Lalu bagaimana dengan posisi riba yang tidak disyaratkan dalam jual beli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar