Selasa, 04 Oktober 2011

PEMBIAYAAN BANK SYARIAH DAN PROBLEMATIKANYA

PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh : Saiful Bahri
-------------------------------------------------

Pendahuluan
Dalam Islam, manusia di wajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah, sehingga rizki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak memberikan rizkinya itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
          Untuk memulai suatu usaha seperti itu diperlukan modal, seberapapun kecilnya. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpanannya atau dari keluarganya. Ada pula yang meminjam dari rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, maka peran institusi keuangan menjadi sangat penting, karena dapat menyediakan modal bagi orang-orang yang ingin berusaha.
          Bank adalah perantara keuangan masyarakat yaitu perantara dari mereka yang kelebihan uang dengan mereka yang kekuarangan uang. Kalau peranan ini berjalan baik barulah bank bisa dikatakan sukses. Jadi, bagaimana bank, melayani sebaik-baiknya mereka yang kelebihan uang dan menyimpan uangnya di dalam tabungan, deposito dan sebagainya serta melayani kebutuhan uang masyarakat melalui pemberian kredit.
            Pro-kontra antara haram-makruh-mubah-halal adalah perdebatan yang sudah lama menjadi wacana masyarakat luas, tidak hanya kalangan elit agama. Penulis berpendapat bahwa pro-kontra pengharaman bunga bank tidak seharusnya menjadikan akademisi dan praktisi lembaga keuangan syariah, termasuk perbankan syariah surut melangkah dalam memajukan lembaga keuangan syariah. Sebagaimana teori-teori dan praktek yang lain, teori dan praktek perbankan syariah akan eksis dan menjadi model saat ia mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di masyarakat, dan ditinggalkan apabila dipandang tidak mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di mayarakat, terutama problem kemiskinan dan pengangguran yang terjadi karena ketidakadilan. Bertolak dari pendapat ini, akademisi dan praktisi perbankan syariah harus selalu mengevaluasi dan memperbaiki konsep dan praktek-praktek yang tidak mampu menyelesaikan problem-problem di masyarakat.
            Tulisan berikut akan membahas konsep-konsep pembiayaan dan aplikasinya serta beberapa problem yang perlu dievaluasi dan kemudian dikembangkan dalam kerangka mengembangkan peran dalam menyelesaikan problem-problem ekonomi umat. Fokus pembiayaan merupakan konsep dan praktek penting dalam perbankan syariah mengingat dari produk pembiayaan inilah yang berhubungan langsung dengan masalah pendanaan ke nasabah, yang harapannya pada gilirannya nanti akan mampu mengurangi kemiskinan dan memberi peluang kepada terbukanya lahan-lahan baru lapangan pekerjaan. Produk pembiayaan inilah yang mempunyai peluang untuk memajukan sektor riil.
Secara sistematis tulisan ini diawali dengan mendeskripsikan konsep dan praktek pembiayaan bank syariah; kemudian dilanjutkan dengan problem-problem yang muncul dalam konsep dan praktek pembiayaan; alternatif pengembangan pembiayaan bank syariah; dan terakhir kesimpulan sebagai rangkuman dan rekomendasi dari pembahasan tulisan ini.

Konsep-Konsep Pembiayaan Bank Syariah
Produk bank syariah yang berkaitan dengan penyaluran dana, dalam istilah bank syariah dikenal dengan pembiayaan (sama dengan kredit dalam istilah bank konvensional) menerapkan beberapa sistem. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Bab  VI Pasal 28 tentang Kegiatan Usaha disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya yang meliputi:
1.   Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi
  1. Giro berdasarkan prinsip wadiah,
  2. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah,
  3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
  4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
2.   Melakukan penyaluran dana melalui:
  1. Murabahah,
  2. Istisna
  3. Ijarah
  4. Salam
  5. Jual-beli lainnya
3.   Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
  1. Mudharabah
  2. Musyarakah
  3. Bagi hasil lainnya
4.   Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip
  1. Hiwalah
  2. Rahn
  3. Qard.
Pada prakteknya, seperti Bank BNI Syariah produk pembiayaan yang diaplikasikan adalah Jual-Beli (murâbahah), Bagi-Hasil (Mudhârabah), Sewa-Beli (Ijârah bai’ at Ta’jiri), dan kongsi (musyârakah). Ulasan produk-produk pembiayaan tersebut sebagai berikut:
1.    Murabahah
Murabahah adalah pembiayaan di mana pihak bank syariah menyediakan dana untuk membeli barang yang dibutuhkan nasabah/umat. Secara operasional, praktek murabahah ini adalah jual-beli barang sebesar harga perolehan atau harga jual (harga beli ditambah biaya transportasi, PPN dan sebagainya) ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati di mana penjual harus memberitahukan kepada pembeli mengenai harga beli produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada harga perolehan tersebut. Keuntungan Bank Syari’ah berdasarkan prinsip kepatutan. Pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara tangguh dan menurut batas waktu yang ditentukan bersama.
2.   Mudharabah
Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal, Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya 30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank Syari’ah dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.
3.   Bai’ al Istisna
Bai’ al Istisna yaitu kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu.

4.   Ijarah
Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperbolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang dengan membayar sewa sesui dengan perjanjian kedua pihak.
5.   Musyarokah
Musyarokah yaitu pembiayaan modal kerja atau investasi di mana Bank Syari’ah menyediakan sebagian modal usaha keseluruhan, dan dalam proses manajemen pihak Bank Syari’ah dapat dilibatkan secara langsung sehingga keduanya berserikat dalam usaha. Pembiayaan musyarokah ini berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan proporsi penyertaan. Rasio keuntungan misalnya 50%:50 %, atau sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
6.   Bai’ Bitsaman Ajil
Bai’ Bitsaman Ajil yaitu jual beli dengan suatu akad sebagaimana terjadi dalam prinsip murobahah tetapi pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara berangsur.
7.   Bai’ As-Salam
Bai’ As-Salam yaitu pembiayaan di mana nasabah memesan barang lewat Bank Syari’ah. Jenis barang dan harganya telah ditentukan dan nasabah melunasi harga barang tersebut pada saat akad (nasabah telah menitipkan uang tunai pada Bank Syari’ah), kemudian pihak Bank Syari’ah menyediakan barang yang dipesan pada waktu jatuh tempo, sedang keuntungan bank hanya berupa jasa dari nasabah 
8.    Hiwalah
Hiwalah pembiayaan ini terjadi apabila seseorang memiliki utang kepada orang lain kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Bank Syari’ah  untuk membayar hutangnya setelah Bank Syari’ah melunasi hutang orang yang bersangkutan maka status hutangnya berdasarkan akad perjanjian yang dibuat beralih kepada Bank Syari’ah.
9.   Rahn
Rahn adalah gadai yang dilakukan secara suka-rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Rahn berlaku untuk semua harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
10.  Qordul Hasan
 Qordul Hasan yaitu  Pembiayaan kebijakan yang diberikan Bank Syari’ah kepada nasabah tanpa pengutan bagi hasil. Dalam hal ini nasabah hanya dibebani tanggung jawab mengembalikan pembiayaan sejumlah yang diterimanya dari Bank Syari’ah  tanpa tambahan apapun, dan membayar biaya administrasi. Apabila peminjam tidak mampu mengembalikan dalam jumlah yang sama dan pada waktu yang telah ditentukan, maka peminjam tidak boleh dikenai sanksi. Atas kerelaannya peminjam dibolehkan memberikan imbalan kepada pemilik barang/uang.

Operasional Bank Syari’ah dalam Pembiayaan
Dalam pembiayaan atau penyaluran dana Bank Syari’ah menggunakan sistem bagi hasil dan pengambilan keuntungan berdasarkan syari’at Islam. Adapun mekanismenya adalah:
1.  Permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  Memberikan kejelasan tentang platform pembiayaan yang dimohon
b.  Memberikan kejelasan tentang rencana penggunaan dana
c.  Memberikan kejelasan tentang rencana jangka waktu pelunasan pembiayaan..
d.  Memberikan kejelasan tentang rencana jaminan atas pembiayaan yang dimohon
e.   Memberikan laporan keuangan perusahaan minimal 2 tahun terakhir
f.   Memenuhi ketentuan umum administrasi.
  1. Penerimaan berkas permohonan oleh petugas Bank Syari’ah 
Pada prinsipnya permohonan pembiyaan diajukan secara tertulis namun dalam keadaan di mana cara ini sulit atau tidak mungkin dilakukan permohonan dapat diajukan secara lesan langsung antara nasabah dengan petugas.
  1. Mempelajari berkas permohonan
Berkas permohonan yang diterima kemudian dipelajari sampai didapatkan suatu kesimpulan bahwa permohonan tersebut layak untuk ditindak lanjuti.
  1. Survey Lapangan
survey lapangan dilakukan setelah didapatkan suatu kesimpulan yang jelas bahwa suatu permohonan pembiayaan yang diajukan pemohon dipandang layak untuk ditindak lanjuti.
  1. Melakukan analisa pembiayaan
Analisa pembiayaan adalah serangkain kegiatan dalam rangka menilai informasi, data-data serta fakta di lapangan sehubungan diajukannya permohonan pembiayaan oleh seseorang.

2. Contoh Perhitungan Praktis Pembiayaan

     Dari beberapa konsep-konsep pembiayaan-pembiayaan di atas, secara riil dapat dicontohkan, antara laian, sebagai berikut:
a.   Al-Murabahah misalkan seseorang nasabah ingin memiliki sepeda motor. Ia dapat mengajukan permohonan agar Bank Syari’ah  membelikannya. Melalui prosedur yang teliti kemudian dinyatakan Bank Syari’ah  setuju, maka bank syariah  membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah, jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,- dan Bank Syari’ah ingin mendapatkan keuntungan Rp 800.000,- selama dua tahun. Harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp 4.800.000,- nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp 200.000,- per bulan.
b.   Al-Mudharabah misalkan seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiyaan bagi hasil seperti mudharabah di mana Bank Syari’ah bertindak selaku shohibul mal dan nasabah selaku mudhorib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya dari modal Rp 30.000.000,- diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,- per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2.000.000,- selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
c.   Musyarakah misalnya Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek usaha tersebut membutuhkan modal sejumlah Rp 100.000.000,- ternyata setelah dihitung, Pak Usman hanya memiliki Rp 50.000.000,- dari modal yang diperlukan. Pak Usman kemudian datang ke Bank Syari’ah untuk mengajukan pembiayaan dengan model musyarokah. Dalam hal ini kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp. 100.000.000,- dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari Bank Syari’ah . Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank Syari’ah. Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp 20.000.000,-  dan nisabah atau porsi yang disepakati 50:50%, pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000,- ditambah Rp 10.000.000,- (50% dari keuntungan untuk bank).
Prakteknya secara umum, misalnya pada pembiayaan murabahah, bank syariah bukan murni sebagai penjual barang seperti pada industri perdagangan yang menjual secara langsung kepada pembeli karena pada kenyataannya bank syariah tidak mempunyai persediaan barang. Hampir 80% pengadaan barang yang dijual kepada nasabah diwakilkan kepada nasabah bersangkutan untuk membelinya. Artinya nasabah membeli barang sendiri setelah diberikan fasilitas dana oleh bank syariah. Beberapa transaksi juga terjebak pada jual-beli fudhul, yaitu barang dijual belum benar-benar menjadi milik penjual atau milik bank syariah sudah dijual lagi kepada nasabah.
Secara formal bentuk akad atau perjanjian pembiayaan murabahah merupakan akad jual beli antara bank syariah selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, namun hakekatnya bank syariah sebatas menawarkan produk pembiayaan atau pendanaan kepada calon nasabah yang membutuhkan pendanaan, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. Praktek ini masih mirip dengan mekanisme pada bank konvensional.


Murabahah: Idola Pembiayaan Bank Syariah
Masyarakat awam mempunyai kesan bahwa bank syariah adalah bank dengan sistem bagi hasil. Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil. Padahal bank syari’ah dari fungsi penyaluran dana atau dalam bentuk pembiayaan  banyak menawarkan produk pembiayaan dengan model pembiayaan murabahah (jual-beli). Hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Sistem penyaluran dana pembiayaan dengan bagi hasil dan lainnya masih sangat sedikit direalisasikan. Sebagaimana pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa produk murabahah masih merupakan produk primadona yang mendominasi dibandingkan produk penyaluran dana yang lain. Produk murabahah rata-rata di atas 50% kecuali di negara Turki yang didomiasi produk ijaroh.

Tabel Penyaluran Dana dalam Produk Bank Syariah di Beberapa Negara

Jenis
Malays
Bahrain
B.desh
Emirat
Jordan
Turki
Murabahah
86,2%
69,9%
61,0%
96,3%
43,9%
17,3%
Ijarah
8,7%
13,3%
13%
-
-
60,6%
Mudharabah
-
-
3,2%
1,6%
-
-
Musyarakah
1.7
7,6%
12,9%
2,1%
2,8%
0,7%
Lainnya
3.4
9,2%
9,9%
-
53,3%
21,4%

Di Indonesia sendiri, dari kasus BNI Syariah bahwa pada akahir tahun 2001 menunjukkan 99% penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan murabahah dan pada akhir tahun 2002 menunjukkan angka 91%. Data Bank Indonesia per Maret 2003 jumlah pembiayaan murabahah mencapai 71,20%, sedangkan pembiayaan bagi hasil, seperti musyarakah  dan mudharabah masing-masing baru 1,92% dan 14,57%. Dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 3,662 triliun, Rp 2,607 triliun di antaranya berupa murabahah. Parahnya lagi, persentase dari transaksi murabahah ini mayoritas untuk konsumsi, bahkan ada cabang bank syariah yang menyalurkan pembiayaannya 90% untuk kredit motor. Persentase ini menunjukkan lebih tinggi daripada praktek murabahah di negara manapun di atas.

Bank Syariah: Problematika dan Solusinya
A.  Kendala-kendala Fiqh   
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Sementara itu Majelas Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama  berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.

Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.

          Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atas madarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris  mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional dan secara empiris berlawanan dengan teori keuntungan perbankan Syari’ah (Folcer, 1987) yang menganggap bahwa keuntungan perbankan Syari’ah lebih dari tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional dan bisa dibuktikan secara matematis seperti berikut:
(dengan asumsi bahwa perbankan Syari’ah dan Konvensional tidak menghadapi permasalahan likuiditas)
maka:
R        = Return Investasi
B        = Biaya Investasi
DR     = Suku Bunga yang dihitung dengan nilai kapital ´ rata-rata suku bunga untuk hutang
iK      = keuntungan sesuai dengan sistem konvensional

iPL     = keuntungan sesuai dengan profit dan loss sharing (sistem Islam)

dengan ini bisa konsekuensi bahwa:
1. iPL  = R - B
2. iK   = R - B - DR
3. iPL  = iK + DR
4. iK    = iPL – DR

(dengan memasukkan persentase perbankan Syari’ah dari keuntungan profit dan loss sharing yang dirumuskan dengan PK)

maka inequation bisa ditulis dengan: (Folcer, 1987)

(1 – PK) iPL  ³  iK  ............................................ 1

dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kinerja perbankan Syari’ah di Indonesia masih di bawah kinerja perbankan Syari’ah di negara lain dan masih dalam operasinya mengutamakan produk yang mendapatkan arus kas yang tetap seperti murabaha dari pada produk yang mempunyai arus kas yang tidak pasti seperti musyarkah, dan mudharaba.


B.  Problem Hukum
Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syari’ah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah.
Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang  luas  untuk  pengembangan  jaringan  perbankan Syari’ah  antara lain  melalui ijin pembukaan Kantor   Cabang  Syari’ah   (KCS)   oleh    bank    konvensional. Dengan    kata   lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip Syari’ah.
          Selain itu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) juga menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syari’ah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
          BI dalam fungsinya sebagai The Leader of Last Resort adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut ps. 11 (1) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah bahwa BI dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syari’ah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syari’ah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau  pembiayaan  yang  diterimanya.  Sedangkan  maksud   agunan  yang  berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Bagi bank syari’ah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syari’ah belum berkembang di Indonesia.
Kendala hukum yang lain ialah di Indonesia, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Akan tetapi badan tersebut sampai sekarang belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Dominasi pilihan yang jatuh pada murabahah tersebut disebabkan karena untuk jual-beli itulah kebutuhan riil masyarakat. Apabila dominasi tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian di salah satu bank syariah di Surakarta tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah yang menghasilkan temuan di antaranya bahwa alasan yang paling utama dari beberapa nasabah yang memperoleh pembiayaan di Bank Syari’ah utama yaitu ingin menghindari riba (65,96%). Alasan dari beberapa pengusaha yang tertarik untuk menabung dan memperoleh pembiyaan dari Bank Syari’ah ini cukup beragam. Alasan mengapa mereka tertarik pada Bank Syari’ah setelah diperdalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keuntungan maka faktor kesesuaian dengan syari’at Islam ini menjadi melemah. Hal ini berarti bahwa ketertarikan masyarakat terhadap Bank Syari’ah masih sangat terbatas pada faktor-faktor yang bersifat emosional, sementara faktor-faktor yang berkaitan dengan akses dan mutu pelayanan belum mendapat perhatian utama.
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan.
Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil sesuai syariat Islam semestinya produk-produk perbankan yang berupa bagi hasil lebih unggul daripada produk-produk lainnya. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesan bahwa bank syariah Indonesia sebenarnya bukan bank bagi hasil, melainkan “Bank Murabahah”. Sebagian orang bahkan memelesetkan nama Bank Muamalat Indonesia menjadi “Bank Murabahah Indonesia”, Bank Syariah Mandiri menjadi “Bank Syariah Murabahah”. Semestinya pembiayaan bagi hasil lebih tinggi daripada pembiayaan yang lain, karena pembiayaan bagi hasil inilah yang dapat mempercepat pengembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan umat. Logikanya, umumnya pembiayaan profit and lose sharing atau revenue sharing tersalur ke sektor riil.
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan.
Bank syariah dalam prakteknya selama ini juga cenderung melakukan akad murabahah, karena bank syariah ingin memperoleh pendapatan yang tetap (fixed income), dari tingkat keuntungan murabahah yang telah ditentukan. Lebih ironis lagi beberapa kebijakan bank syariah untuk sektor pembiayaan masih relatif sama dengan kebijakan bank konvensional. Padahal kebijakan bank konvensional tersebut tidak tepat untuk diterapkan pada operasional bank syariah, khususnya mengenai kebijakan pada penentuan tarif keuntungan (margin/laba), jangka waktu pembiayaan, jaminan pembiayaan.
            Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; Pertama, Money Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. Ketiga, moral hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank; yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang (2) sebenarnya mempunyai keuntungan berjumlah besar.
            Idealisme perbankan Syariah adalah perbankan yang dilandasi teori, prinsip ekonomi dan perangkat undang-undang yang mantap. Pelaku-pelakunya mempunyai akhlak yang itqan (tekun), dan Ihsan (profesional) dalam bidang ekonomi, baik yang berperan sebagai produsen, konsumen, pengusaha, dan karyawan. Setiap langkah bisnis harus didasari al-amanah, al-istiqamah, at-taqwa, as-sidq, al-haq dan al-qulb. Antisipasi pada kecenderungan penyimpangan dapat diterapkan metode reward dan punishment (insentif dan sanksi) setiap kali terjadi dalam transaksi. Hal ini untuk mengeliminir kecurangan dan menjaga agar nasabah yang amanah tetap tegar.
            Perjalanan perbankan syariah yang masih sangat muda memberikan kesempatan untuk berkembang secara lebih pesat dan dengan dinamika yang agresif dan secara bertahap (gradual). Dasar pijakan yang bisa digunakan adalah penelitian-penelitian tentang perbankan syariah yang dilakukan oleh pihak perbankan syariah, dewan syariah, dan akademisi. Agresivitas dan dinamika yang dilakukan oleh perbankan syariah dilakukan dalam bingkai semangat perbaikan terus menerus.
          
  Kesimpulan
            Fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam belum menunjukkan perannya yang signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat. Kekuatan bank syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosional-ideologis yang memang menjadi kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat rentan apabila perkembangan bank syariah tidak menunjukkan perannya yang lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan umat.
            Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan yang masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap hati-hati. Beberapa perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah peningkatan mutu sistem pembiayaan yang lebih baik. Secara riil adalah menghindari transaksi jual-beli fudhul dan memprioritaskan pembiayaan kepada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan memperkecil kemiskinan. Prosedur yang memberatkan seperti adanya masa pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Dengan model ini lapangan kerja akan lebih terbuka dan pada gilirannya kesejahteraan akan menjadi lebih luas sebarannya.

Daftar Bacaan


Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001

Buku Pedoman Perusahaan BNI Syariah, Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan, Jakarta: BNI Syariah, 2000

Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Edisi kedua, diterbitkan atas kerjasama Dewan Syarian Nasional, Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia

Ilmi SM, Malkalul, Teori& Praktek Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2002

Muhammad, Manajemen Bank syari’ah,  Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002.

Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta, 2003,

Muhammad dan Sholihul Hadi, 2003, Pegadaian Syariah, Yogyakarta, Salemba Diniyah.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: EKONISIA, 2003

Sudin Haron, Prinsip dan Operasional Prinsip Perbankan Islam, Kuala Lumpur, Berita Publishing, 1996,

As-Suyuthi, al-Asybah Wan Nadhair, tt.




1 komentar: