I. PENDAHULUAN
Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme(1917). Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi. The church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic” (mentality).[1]
Dalam ekonomi Islam juga etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya . Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya.
II. PEMBAHASAN
1. Etika dan Krisis Ekonomi
Dawam menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai etika ekonomi Islam sesungguhnya berjalan sejajar dengan norma ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan pelbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam.
Krisis ekonomi global saat ini seolah menjadi siklus yang terjadi di setiap awal abad. Dampak destruktif dari krisis ini mengingatkan banyak kalangan kepada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1930-an yang disebut sebagai depresi besar (great depression). Sebagaimana depresi besar, krisis kali inii juga menempatkan kapitalisme sebagai pusat perdebatan. Tidak sedikit kalangan yang menganggap krisis ekonomi global saat ini adalah akhir sejarah kapitalisme. Dengan demikian, bagi mereka, sudah saatnya mencari dan memformulasikan tata ekonomi dunia baru.
Diskusi “Islam dan Kapitalisme” yang diselenggarakan dalam rangka Hari Lahir Jaringan Islam Liberal ke-8, 23 dan 25 Maret 2009, mencoba mengurai perdebatan seputar hubungan antara Islam dan kapitalisme. Diskusi hari pertama membahas tema “Respon Islam terhadap Kapitalisme.” M. Dawam Rahardjo dan Luthfi Assyaukanie hadir sebagai pembicara pada diskusi pertama.
Luthfi Assyaukanie berupaya memberi bingkai kontekstual terhadap isu Islam dan kapitalisme. Menurut Luthfi, tema Islam dan kapitalisme sesungguhnya adalah rangkaian dari tema-tema umum yang mencoba mencari kompatibilitas antara Islam dan ideologi-ideologi lain seperti sosialisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tentu saja ada banyak tantangan dari dunia Islam untuk menerima konsep-konsep yang lahir di Barat tersebut. Itulah sebabnya, tidak sedikit orang, baik Islam maupun pengamat luar, yang menganggap bahwa Islam adalah sebuah masyarakat yang unik yang susah menerima konsep-konsep modern yang lahir dari Barat. Namun begitu,masih lebih banyak yang menganggap bahwa konsep-konsep yang sekarang berkembang di dunia modern adalah universal dan bukan merupakan produk unik dari budaya tertentu. Islam juga memiliki kompatibilitas dengan segala konsep yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia, darimanapun asalnya.
Persoalannya adalah bahwa jika masyarakat Muslim sudah mulai bisa menerima konsep demokrasi dan hak asasi manusia, dengan mulai munculnya rezim-rezim demokratis di pelbagai negara Muslim saat ini, tetapi tidak demikian halnya dengan kapitalisme. Masyarakat Muslim dengan mudah menerima konsep kebebasan dalam politik, tapi selalu curiga terhadap konsep kebebasan ekonomi.
Menurut Luthfi, sikap antagonistik masyarakat Muslim terhadap kapitalisme disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman pahit masyarakat Muslim berhadapan dengan kolonialisme selama beberapa abad menjadikan masyarakat Muslim menolak apa saja yang datang dari negara-negara kolonial, terutama kapitalisme. Kolonialisme dianggap sebagai bentuk implementasi sistem ekonomi kapitalistik. Kedua, sikap materialistik yang ada dalam sistem kapitalisme dinilai berbahaya bagi iman Islam yang menekankan kehidupan setelah mati. Ketiga, kapitalisme dianggap melegalkan dan mendorong budaya hedonistik, sesuatu yang tidak patut dan tercela dalam kehidupan masyarakat Islam. Keempat, kapitalisme dianggap sebagai biang keladi kesenjangan dan kemunduran ekonomi masyarakat Muslim saat ini. Lebih dari itu, kapitalisme dianggap tidak memiliki kepekaan sosial. Luthfi menilai kesimpulan-kesimpulan ini terlalu sederhana dan cenderung menyesatkan.
Pengalaman kolonialisme tampaknya menjadi faktor utama sikap antagonistik ini. Luthfi mencontohkan bagaimana Tjokroaminoto menyebut ada dua macam kapitalisme: “kapitalisme baik” dan “kapitalisme buruk” (sinful capitalism). Kapitalisme yang baik adalah kapitalisme yang dijalankan oleh para pedagang dan pengusaha pribumi, terutama kaum Muslim. Sementara kapitalisme buruk adalah kapitalisme yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha Belanda dan antek-anteknya (terutama keturunan Cina). Sikap-sikap semacam ini tampak dominan di kalangan aktivis dan pemimpin bangsa Indonesia di awal-awal kebangkitan nasional dan kemerdekaan. Tidak heran kemudian jika yang muncul saat itu adalah sikap pro-sosialisme dan anti-kapitalisme.
Sikap anti-kapitalisme dan menempatkan Islam di seberang kapitalisme, menurut Luthfi, sungguh berbahaya jika tidak disertai penjelasan yang memadai. Luthfi mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi di mana seseorang bebas memiliki dan mengontrol harta dan kekayaan miliknya. Property right menjadi kata kunci dalam hal ini. Secara lebih luas kemudian kapitalisme didefinisikan sebuah sistem ekonomi yang menyerahkan mekanisme penanaman modal, disribusi, produksi, penentuan harga, komoditas, barang, dan jasa kepada keputusan pribadi secara sukarela. Ekonomi pasar kemudian menjadi kemestian dalam sistm ini.
Sementara Islam, bagi Luthfi, adalah seperangkat nilai yang dijadikan jalan hidup yang digali dari kitab suci dan turunan penafsirannya. Al-Quran secara spesifik tidak bicara tentang sistem ekonomi tertentu. Tetapi ada banyak ayat yang mengindikasikan pembicaraan mengenai ekonomi: transaksi jual beli (QS. 2:282), kontrak hutang (QS. 2:282), bunga (QS. 2:275), pinjaman (QS. 2:282), dan pajak (QS. 9:103). Prinsip property right yang menjadi dasar kapitalisme tampak nyata dalam fakta bahwa al-Quran tidak pernah melarang kaum Muslim untuk memiliki harta. Kaum Muslim justru dianjurkan untuk giat berusaha mengumpulkan harta (QS. 62:10 dan 73:20). Orang yang mati membela harta milik atau sedang dalam usaha mengumpulkan harta untuk keluarga bahkan disebut sebagai martir (syahid).
Secara umum, Nabi Muhammad tidak pernah mengecam praktik pengumpulan kekayaan. Yang dikecam adalah praktik kecurangan dalam kegiatan ekonomi tersebut. Beberapa literatur bahkan menempatkan Nabi sebagai pembela mekanisme pasar. Dia, misalnya, menolak permintaan para sahabat untuk mengendalikan gejolak ekonomi dengan mematok harga. Mematok harga adalah perbuatan yang melawan sunnatullah. “Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Senada dengan Luthfi, M. Dawam Rahardjo menilai bahwa memang ada kecenderungan masyarakat Muslim menolak sistem kapitalisme. Hampir semua wacana yang berkembang di dunia Islam awal abad ke-20 menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tidak kompatibel bahkan anti-tesa terhadap kapitalisme. Islam didefinisikan justru dekat dengan sosialisme. Muhammad Iqbal, filsuf Islam asal Pakistan, bahkan menyebut Islam adalah varian dari Sosialisme itu sendiri: “Islam is Bolshevism Plus God.” HOS Tjokroaminoto menulis buku yang diberi judul “Sosialisme Islam.” Mohammad Hatta dan M Rasyidi menulis artikel di majalah Panji Masyarakat dengan judul “Islam dan Sosialisme.” Tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan istilah “sosialisme religius.”
Kedekatan Islam dan sosialisme yang dianut oleh banyak pengemat dibantah secara serius oleh Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, yang menyatakan bahwa sesungguhnya dunia Islam justru sangat dekat dengan kapitalisme. Rodinson meminjam kerangka teori sosiologi Max Weber yang menemukan bahwa sangat mungkin aspek-aspek kesadaran religius Protestantisme berpengaruh terhadap perkembangan dan kemunculan kapitalisme. Kendati pada tahap selanjutnya kapitalisme menjadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama itu sendiri.
Menurut Rodinson, kapitalisme harus dibedakan dalam dua kategori: kapitalisme sebagai institusi dan kapitalisme sebagai mentalitas. Dari kedua kategori ini, kapitalisme muncul dalam tiga bentuk: kapitalisme komersial, kapitalisme finansial, dan kapitalisme industrial. Masyarakat Muslim, menurut Rodinson, datang pada konteks masyarakat Arab yang mempraktikkan kapitalisme komersial. Tidak heran kemudian jika bahasa perdagangan akan sangat mudah ditemui dalam al-Quran, misalnya “Hal adullukum ala Tijarah” (Maukah engkau kuberi tahu tentang perdagangan?).
Dawam menilai bahwa meski Islam lahir dalam konteks kapitalisme, tetapi hubungannya bukan hubungan statis. Di samping menerima konsep kapitalisme, Islam juga memberi kritik dan masukan. Islam memperkenalkan dua modal ekonomi, yaitu finasial dan manusia: “Wajahidu fi sabili bi amwalikum wa anfusikum” (Berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu). Menurut Dawam, hal ini sejalan dengan kapitalisme, sebagaimana yang diterangkan dalam teori pertumbuhan Harold-Domar, bahwa ada dua modal dalam ekonomi: modal finansial atau fisik dan modal tenaga kerja manusia. Tetapi sosialisme juga menekankan pada moda produksi yang tidak hanya bertumpu pada kekuatan produksi (production force), melainkan juga hubungan sosial (social relation of production).
Islam, dalam kacamata Rodinson, berkembang dari masyarakat kapitalisme tradisional. Sejarah kemudian mencatat bahwa Islam tersebar ke pelbagai pelosok dunia juga dengan menggunakan kendaraan kapitalisme dan perdagangan. Itulah sebabnya penyebaran Islam lebih lambat 300 tahun dari perluasan kekuasaan politik raja-raja Islam. Ini pula yang dijadikan sebagai argumen untuk membantah tesis yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah.
Sejak awal, kapitalisme dan Islam sudah berada pada jalur yang sama. Dawam menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai etika ekonomi Islam sesungguhnya berjalan sejajar dengan norma ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan pelbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam. Rodinson bahkan menyebut kota-kota semacam Granada, Cordoba, Baghdad, Damaskus dan kota-kota besar Islam lainnya adalah sama dengan Paris, London, atau Washington pada masanya. Mereka adalah kota-kota metropolitan dan pusat-pusat kapitalisme dunia.
Namun begitu, Dawam membatasi kompatibilitas Islam dan kapitalisme hanya pada kapitalisme tradisional atau kapitalisme komersial. Sementara kapitalisme dalam bentuk yang lebih mutakhir seperti kapitalisme negara (state capitalism), kapitalisme finansial, maupun kapitalisme monopoli memerlukan penjelasan yang lebih hati-hati. Bicara mengenai kompatibilitas Islam dan kapitalisme sesungguhnya memiliki persoalan serius, sebab keduanya memiliki varian yang sangat kaya. Islam dan kapitalisme mana yang kita maksud?
Bagi Dawam, kapitalisme dalam beragam bentuk adalah sebuah kemestian. Tidak ada negara dan masyarakat yang benar-benar bisa lepas dari sistem ini, mulai dari tahap tradisional (komersial), politik, maupun rasional (meminjam kategori Max Weber). Apa yang runtuh di Uni Soviet dan Cina sekarang ini bukanlah sistem ekonomi sosialisme, melainkan kapitalisme negara (state capitalism). Sosialisme sesungguhnya tidak pernah runtuh, karena munculpun belum. Pada akhirnya, kapitalisme menjadi semacam sunnatullah dengan berbagai varian dan perkembangannya. Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.
2. Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007). Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun.
Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
3. Ekonomi Kapitalisme: Biang Krisis
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.
4. Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti atau terikat dengan sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara.
Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus.
Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan.
5. Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.
1. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah.
2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.
Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).
3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”[2]
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” [3].
Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
6. Etika dan Perilaku Ekonomi
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4 .Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.
7. Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).
Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behaviors cannot lead the society onto “road to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)
8. Etika Bisnis
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda.[4]
9. Ekonomi Pancasila
Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.
Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.
III. PENUTUP
Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).
Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)
DAFTAR PUSTAKA
Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics, from Altruism to Cooperation to Equality, St. Marten’s Press, New York, 1997.
Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, 1981.
Swedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton, 1998
Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958
--------------, Economy and Society, University of California, 1978
--------------, General Ecoomic History, Collier Books, 1961
Wilson, Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997.
assalamu'alaikum.,
BalasHapusyth pak saiful bahri..saya mau tanya, apa pendapat anda tentang pertanyaan " Pandangan ekonomi menurut kapitalisme?
mohon jawabannya pak, Tks