Selasa, 04 Oktober 2011

METODE TAFSIR TAHLILI METODE TAFSIR TAHLILI SURAT AL-BAQARAH AYAT 282


METODE TAFSIR TAHLILI METODE TAFSIR TAHLILI
SURAT AL-BAQARAH AYAT 282

OLEH:
SAIFUL BAHRI
08 EKNI 1351


A. Pendahuluan         

Agaknya tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa diantara cabang ilmu yang sangat penting dari rumpun-rumpun ilmu Alquran adalah ilmu Tafsir. Hal ini bukan karena semata-mata lebih tua dari cabang-cabang ilmu-ilmu Alquran lainnya, akan tetapi lebih kepada peranannya yang sangat penting dalam menggali dan memahami ayat-ayat Alquran.
Dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, sejak turunnya Alquran kepada nabi Muhammad Saw, ilmu Tafsir terus berkembang dan terdapat banyak kitab-kitab tafsir dengan corak yang beraneka ragam. Para ulama tafsir belakangan memilah-milih kitab tersebut berdasarkan metode penafsirannya, baik ijmali, tahlili, maudhu’i dan muqaran.[1]
Yang paling populer dari antara corak atau metode penafsiran tersebut adalah metode tahlili dan maudhu’i. Penafsiran dengan metode tahlili yang oleh Baqir dinamai sebagai metode Tajzi’i[2] adalah sebuah metode tafsir dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat demi ayat atau surah demi surah sebagaimana tersebut dalam mushaf.
Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan membahas kajian yang terkait dengan tafsir tahlili tersebut, baik defenisi, sejarah tafsir tahlili, Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili, dan langkah-langkah dalam tafsir tahlili serta penafsiran surat Al-Baqarah ayat 282.

B. Pengertian Tafsir Tahlili

Kata “tahlili” berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa jadi Tafsir Tahlili (analitis) atau yang juga disebut dengan tafsir tajzi’i merupakan suatu metode yang bermaksud  menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh sisinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh baik dengan corak ma’tsur maupun ra’yi. Unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah asbabun nuzul, munasabah ayat dan juga makna harfiyah setiap kata.[3]
Seorang mufassir tersebut bermaksud menjelaskan ayat-ayat Alquran secara terperinci dan jelas. Metode tafsir ini dilakukan sesuai dengan susunan ayat demi ayat atau surat demi surat sebagaimana termaktub dalam mushaf Usmaniy. Tujuan utama metode tafsir ini adalah untuk mengungkapkan maksud-maksud dari ayat tersebut dan tunjukannya. Seorang mufassir akan memaparkan lafaz dari segi bahasa Arab, penggunaannya, kesesuaian ayat dengan ayat serta tempat dan juga sebab turunnya ayat tersebut jika memang ada. Mufassir akan menguraikan fasahah, bayan, i’jaz dan maksud syariat dibelakang nas dan sebagainya. dalam menafsirkan ayat demi ayat, seorang mufassir sering mengutip ayat Al Qur'an, hadist Rasulullah SAW, serta perkataan sahabat dan para tabiin.[4]
Melihat aspek-aspek yang dibahas dalam tafsir tahlili maka dapat dipahami bahwa penafsiran dengan metode ini sangat luas dan menyeluruh. Jika menginginkan pemahaman yang luas akan suatu ayat, maka tidak ada pilihan lain kecuali menafsirkannya dengan tafsir tahlili.

C. Sejarah Perkembangan Tafsir Tahlili
Pertumbuhan tafsir Alquran telah dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman hidupnya Rasulullah. Beliau adalah manusia yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menafsirkan Alquran. Karena salah satu tujuan pengutusan beliau adalah untuk menjelaskan Alquran bagi manusia.
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabatpun mulai melakukan ijtihad, meski ijtihad dalam pengertian yang lebih terbatas telah lahir pada zaman Rasulullah, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali, Abdullah b. Abbas, Ubay b. Ka’ab, Abdullah b. Mas’ud dan sebagainya.
Disamping itu, beberapa tokoh sahabat yang disebutkan di atas juga mempunyai murid-murid dari golongan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka bertempat tinggal. Beberapa tokoh tafsir dari golongan tabi’in adalah Sa’id b. Zubair, Mujahid b. Jabr dan sebagainya.
Penggunaan metode tafsir tahlili dalam dunia Islam dimulai sejak ditulisnya tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an  karya Ibnu Jarir at-Thabari. Karya at-Thabari ini dianggap sebagai tafsir tertua yang menggunakan metode tahlili. Dalam tulisannya, at-Thabari menganalisa ayat-ayat demi ayat dengan menunjuk kepada Hadist Nabi, ucapan sahabat, aspek kebahasaan dan bebeberapa sumber lainnya untuk menjelaskan ayat tersebut. Upaya penafsiran seperti ini kemudian banyak diikuti oleh  mufassir lain seperti Ibnu Katsir dan as-Suyuthi.[5]
Meskipun metode at-tahlili lama digunakan dalam kajian teks keagamaan dan filsafat, tetapi metode ini baru dibakukan sebagai salah satu metode ilmu pengetahun pada awal abad ke-20, saat kajian kebahasaan telah mengalami perkembangan yang cukup maju.[6]

D. Kitab-Kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Tahlili
            Beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode ini diantaranya adalah;
1.       Tafsir Jami al Bayan fi Tafsir Al Qur'an al Karim oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabariy.
2.       Tafsir Al Qur'an al Azhim oleh Ibnu Katsir.
3.       Tafsir Mafatih al Ghaib oleh Fakhru Raziy.
4.       Tafsir al Jami’ li Ahkam Al Qur'an oleh Qurthubiy.[7]

E.  Keistimewaan dan kelemahannya
            Dalam menganalisa tafsir tahlili, muncul beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan kegunaan metode penafasiran ini, diantaranya adalah apa keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan bagaimana pula contohnya.
Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita haru dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini. Seperti halnya penafsiran Israiliyat, mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai.
            Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai keistimewaan dan juga kelemahan tafsir ini. Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memiliki kelemahan  dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tahlili ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode ini.
            Dalam tafsir tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya adalah tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat dan para tabiin, yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam.
            Keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan metode tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup kemungkinan bahwa kosa-kata ayat tersebut sedikit banyakanya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno.
            Keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain kedetilan, keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir tahlili dengan tafsir ijmali.
            Seperti disebutkan di atas, bahwa salah satu keistimewaan tafsir tahlili dibandingkan dengan tafsir ijmali adalah kedetilannya dalam menguraikan sebuah ayat. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode tahlili.
            Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita haru dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini.
Salah satu kelemahan yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan Israiliyat yang mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai. 
Akan tetapi dengan analisa kritis yang mendalam, kelemahan ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat. Israiliyyat tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya.
Demikian pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut.
Kelemahan lain tafsir tahlili adalah kesannya yang bertele-tele dan sistematis. Tapi apakah demikian adanya? Sepintas memang akan terlihat demikian karena tafsir tahlili membutuhkan wadah yang lebih banyak dan luas dibandingkan dengan tafsir ijmali. Pemakaian kata yang banyak tidak bisa dikatakan bertele-tele bila memang kajian tersebut membutuhkan wadah bahasa yang panjang untuk menguraikannya. Bertele-telenya sebuah penafsiran adalah dengan banyak kalimat-kalimat yang tidak berfungsi  dengan baik dalam menguraikan ayat, seperti perulangan penjelasan, atau kiasan-kiasan yang tidak perlu.
Kedetilan dan keluasan bahasan tafsir tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan tafsir ijmali yang praktis dan sederhana.[8]
Keistimewaan metode tafsir tahlili dapat dirangkum sebagai berikut:
1.      Sumber yang bervariasi.
2.      Analisa mufassir.
3.      Kekayaan arti kosa-kata dalam Alquran.
4.      Luas.
5.      Detil
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
  1. Peluang untuk masuknya israiliyyat lebih besar.
  2. Peluang untuk masuknya informasi yang tidak penting lebih besar.
  3. Bertele-tele.
  4. Membutuhkan wadah, kata, waktu yang relatif lebih besar.

F. Langkah-Langkah Dalam Tafsir Tahlili

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa metode tafsir tahlili adalah tafsir yang berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat ayat-ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Dalam tafsir tahlili, seorang mufassir memulai dari ayat ke ayat, surah ke surah. Segala aspek yang dinilai penting oleh mufassir akan ditafsirkan, mulai dari kosa-kata, sebab turunnya, munasabahnya dan lain sebagainya yang masih berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.[9]
Ringkasnya metode penafsiran tahlili dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Urutan-urutan ayat dan surat berdasarkan mushaf.
2.      Menafsirkan kosa-kata pada ayat Alquran.
3.      Menjelaskan munasabah (korelasi) antar ayat.
4.      Menjelaskan latar historis turunnya ayat.
5.      Menjelaskan dalil-dalil yang terkandung dalam ayat.
Setelah semua langkah tersebut sudah ditempuh, mufassir tahlili lalu menjelaskan  seluruh aspek dari semua penafsiran dan lalu memberikan penjelasan final dari semua penafsiran tersebut.

G. Penafsiran Surat Al-Baqarah ayat 282:
Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 282:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar