Sabtu, 15 Oktober 2011

Jual Beli Yang Legal Dalam Hukum Islam


A.    Latar Belakang
 Allah SWT  telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka saling tolong menolong, tukar menukar keeperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan dan lain-lain.
Dalam aktivitas sehari-hari, kita banyak melakukan banyak aktivitas muamalah yang terkadang jarang kita perhatikan kesyar’iannya lantaran sudah menjadi kebiasaan umum di tengah-tengah masyarakat. Ketika kebiasaan itu memang di benarkan oleh syara’ maka tidak akan menjadi masalah. Beda halnya ketika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syara’ tapi karena di kenal umum di tengah-tengah masyarakat sehingga di anggap tidak melanggar syara’. Contohnya saja mengenai praktik riba yang sedang marak menjangkiti masyarakat di tengah-tengah kondisi ekonomi yang sulit. Dalam hal ini riba di anggap hal yang biasa dan bahkan ada yang menghalalkannya karena aktivitasnya mirip dengan jual beli. Sekalipun ada ayat yang menjelaskan tentang perbedaan keduanya.
Fakta ini membutuhkan pengkajian kembali kaitannya dengan muamalah yang ada di tengah-tengah masyarakat kita sehingga kita dapat meluruskan praktik-praktik yang salah dalam muamalah kita. Khususnya mengenai jual beli karena setiap kita tidak ada yang terlepas dari jual-beli. Ini merupakan aktivitas yang lazim kita lakukan.
Hal ini sangat penting karena teraturnya muamalah, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.


B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah
1.    Bagaimana islam memandang jual beli?
2.    Apakah semua jual beli dibolehklan dalam islam?.
C.    Tujuan

Adapun tujuan yang di harapkan dari makalah ini yaitu:
1.    Sebagai referensi dalam bermuamalah khususnya dalam berjual-beli agar sesuai dengan syari’at islam .
2.    Sebagai pemacu untuk memperbaiki muamalah di tengah-tengah masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi
Secara bahasa , al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dsan qabul.

Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini, untuk mendapatkan makanan dan minuman. Misalnya, terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan besar akan terbentuk akad jual-beli


B.    Dasar Hukum

Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an , Al hadits ataupun Ijma’ ulama. Di antara dalil ( landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad jual beli adalah sebagai berikut:

a.     QS. An Nisa ayat 29:



Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[287]  larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
   
b.     QS. Al Baqarah ayat 275
Artinya
Dan Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
c.     QS Al Baqarah ayat 198
Artinya

 Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu
d.     Dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda ,

“ Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”(HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah ).


e.     Ulama muslim sepakat ( ijma’) atas kebolehan akad jual beli.

Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus diberikan. Dengan disyariatkannya, jual beli merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya , manusia tidak bias hidup tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. 


1.     Syarat dan Rukun Jual Beli

Adapun rukun sari jual beli serta masing-masing syarat dari rukun-rukun tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Penjual dan Pembeli
Adapun syarat-syaratnya:
  • Berakal,
  • Dengan kehendak sendiri
  • Tidak mubazir  ( pemboros ) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya. Sebagaimana AllahSWT berfirman:
Artinya

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [268]  orang yang belum Sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.
  • Balig.



b.    Uang dan benda yang di beli
Syaratnya:
  • Suci. Barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum di samak. Ini sesuai dengan kesepakatan para ahli hadits.
  • Ada manfaatnya. Tidak boleh mebjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya . Di larang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan harta yang terlarang dalam Al qur’an QS.  Al Isra’ ayat 27.
  • Barang itu dapat di serahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, isalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tanganyang merampasnya, barang yang sedang di jaminkan , sebab semua itu menganduang tipu daya. 
  • Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya atau yang mengusahakan.
  • Barang tersebut diketahuioleh si penjual dan si pembeli baik itu zatnya, bentuknya,, kadar ( ukuran ) nya, dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.


c.    Lafaz Ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya  “ Saya jual barang ini sekian”. Sedangkan Kabul adalah ucapan si pembeli, “ Saya terima ( saya beli ) dengan harga sekian”. Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka , dan juga sabda Rasulullah SAW di bawah ini:

“Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka “( HR.Ibnu Hibban).
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung padahati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama yang lain berpendapat bahwa lafadz itu tidak menjadi rukun , hanya menurut adapt kebiasaan saja. Apabila menurut adapt telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.
Menurut ulama’ yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
  • Keadaan ijab dan Kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
  • Makna keduanya hendaklah mufakat walaupun lafaz kedudukannya berlainan.
  • Keduanya tidak di sangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya” Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian”
  • Tidak berwaktu , sebab jual beli berwaktu-seperti sebulan atau setahun-tidak sah.


2.     Hukum Jual Beli

Adapun mengenai hukum jual beli sebagai berikut:
  • Mubah ( boleh ), merupakan asal hokum jual beli,
  • Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga Qodli menjual harta muflis ( orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
  • Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang
  • Sunah, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkannya.   



3.     Syarat-syarat Sah Jual Beli

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.

Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.

Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah;

Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).

Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,


“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.

Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:

Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’alaberfirman:

“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)

Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid(memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:

Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamterhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)

Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar darigharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al HilyahIV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)


C.     Dasar Masyru'iyah

Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)


Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)

Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar.)

Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)



1.    Khiyar
Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli) . Di adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.

Macam-macam Khiar

a.    Khiyar Majelis

Khiyar majelis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara 2 perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Sabda Rasulullah SAW ; ” Dua orang yang berjual beli boleh memilih ( akan meneruskan jual beli mereka tau tidak). Selama keduanya  belum bercerai dari tempat akad ( HR. Bukhori dan Muslim)

b.    Khiyar Syarat

Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, ” Saya menjual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam 3 hari atau kurang dari 3 hari”. Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya 3 hari 3 malam , terhitung dari waktu ajad. Sabda Rasulullah SAW:” Engkau boleh khiyar dalam segala barng yang telah engkau beli selam 3 hari 3 malam”.( HR Baihaqi dan Ibnu Majah).

c.    Khiyar ’Aibi ( cacat)

Khiyar ’Aibi artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yng mengurangi kuaitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu atau terjadi sesudah akad yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah Ijma yang disepakati oleh ulama mujtahid. Ras
Aisyah telah meriwayatkan, ” Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, bdak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada catatnya lalu ia adukan perkaranya kepada Rasulullah SAW. Keputusan dari beliau budak itu dikembalikan kepada si penjua ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizi ).
    
Adapun apabila sudah terjadi akad antara penjual dan pembeli namun barang tersebut masih dalam tanggungan si penjual, dan ketika si pembeli menerima barang tersebut dan di dapatinya barang tersebut cacat maka boleh baginya untuk mengembalikan barang tersebut dan meminta uangnya kembali.

2.    Jual Beli yang Sah, tetapi Dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, di sini akan di uraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah: 1) menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain, 2). Menyempitkan gerakan pasaran, 3) Merusak ketentraman umum.

Adapun mengenai jual beli yang sah tapi dilarang, sebagai berikut:
  • Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan ia tidak menginginkan membeli barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu .
  • Membeli barang yang sudah di beli oleh orang lain yang masih dalam masa khiyar. Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain (sepakat ahli hadis)
  • Mencegat orang-orang yang datang dari desa ke luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar. Ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai di pasar. Rasulullah SAW pernah bersabda : Janganlah kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar ( sepakat ahli hadits).
  • Membeli barang untuk di tahan agar dapat di jual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan mmasyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketentraman umum.Rasulullah SAW bersabda :”Tidak ada orang yang menahan arang kecuali orang yang durhaka ( salah) ( HR. Muslim)
  • Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya. Allah telah melarang hal ini melalui firmanNya dalam QS. Al Maidah ayat 2 : ”Dan tolong – menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
  • Jual beli yang disertai tipuan. Ini mencakup tipuan yang dilakukan oleh penjual ataupun pembeli, pada barang , ukuran ataupun timbangannya.

Rasulullah SAW bersabda :”Dari Abu Hurairah ,’Bahwasanya Rasulullah SAW pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal di jual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata ”Apakah ini?” jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah , Beliau bersabda,”Mengapa tidak engkau taruh di bagian ats supaya dapat di lihatorang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku” (HR.Muslim)



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

  1. al ba’i ( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurt madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta ( mal ) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sisni, di artikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighatatau ungkapan ijab dsan qabul.
  2. Tidak semua jual beli dibolehkan dalam islam. Ada beberapa aktivitas dari jual beli yang dilarang dalam islam seperti membeli buah yang masih di pohonnya, ikan yang masih di laut dan lain sebagainya yang semuanya dilihat dari sesuai atau tidaknya ia dengan rukun dan syarat jual beli. Jika sesuai di anggap sah,jika tidak sesuai di anggap tidak sah.
   


DAFTAR PUSTAKA

Djawaini, Dimyauddin.2007.Pengantar fiqih muamala.Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar