Selasa, 04 Oktober 2011

DISTRIBUSI (AL-TAUZI`)


DISTRIBUSI
(AL-TAUZI`)

A. Pendahuluan
Dalam paradigma konvensional, ilmu ekonomi merupakan ilmu mengenai cara-cara manusia dan masyarakat dalam menentukan atau menjatuhkan pilihan dengan atau tanpa uang untuk menggunakan sumber-sumber produktif yang langka yang dapat mempunyai pengunaan-penggunaan alternatif untuk memproduksi berbagai barang serta membaginya untuk dikonsumsi baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang kepada berbagai golongan dan kelompok di dalam masyarakat.1
Dari penjelasan di atas, dapat di pahami bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu yang membahas permasalahan-permasalahan seperti problem of choise, kelangkaan sumber produktif, penggunaan uang, serta permasalahan produksi dan distribusi. Oleh karena itu, setiap sistem ekonomi pada hakekatnya bertujuan memecahkan permasalahan tersebut terutama dalam bidang produksi dan distribusi.
Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup (world view) berpendapat bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia pada dasarnya telah di desain sedemikian rupa oleh Allah swt, sehigga segala permasalahan yang muncul pada hakekatnya telah dipersiapkan jawabannya. Dalam konteks ini paradigma konvensional di atas yang memandang masalah ekonomi muncul karena faktor kelangkaan sumber daya produktif yang dihadapkan dengan pola kebutuhan manusia yang tidak terbatas, di pandang sebagian kalangan ekonom Muslim kontemporer tidak tepat. Sebab, dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang benar sebagaimana dalam QS. al-Qomar: 49

Artinya :” Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”
Bagi kalangan ini, permasalah ekonomi muncul karena adanya sistem distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat atas sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap yang lemah. Oleh karena itu kalangan ini menilai bahwa istilah ekonomi tidaklah pernah ada dalam Islam, sebab antara Islam dengan ilmu ekonomi sama sekali tidak ada hubungannya. Pandangan seperti ini sebagaimana diungkapkan oleh kalangan yang mengamini mazhab Baqr Sadr.
Ada 3 (tiga) aktifitas ekonomi yang disepakati oleh para ekonom, yakni Produksi, Distribusi dan Konsumsi.  Dua aktifitas pertama kemudian dijabarkan dengan pertanyaan What to produce, How to produce dan For whom to produceWhat and How berkaitan dengan materi dan proses teknis produksi, sedangkan For whom menjadi acuan target distribusi.  Karena itulah, distribusi seringkali disederhanakan pada pemasaran (marketing).  Namun, makalah ini tidak berbicara tentang distribusi dalam pengertian market share dan strategi marketing.  Makalah ini juga lebih tertuju kepada distribusi dalam pengertian yang lebih generik, yakni penyebaran atau perputaran ekonomi. Sistem ekonomi Islam ditegakkan di atas tiga asas utama, pertama, konsep kepemilikan (al-milkiyah); Kedua, pemanfaatan kepemilikan (al-tasharuf fil al-milkiyah); Ketiga, distribusi kekayaan di antara masyarakat (tauzi'u altsarwah bayna al-naas).
Wacana tentang perputaran ekonomi dalam skala negara seringkali diterjemahkan menjadi pemerataan kesejahteraan warga negara.  Wacana inilah yang kemudian memunculkan dikotomi blok Timur (negara-negara yang menganut paham Sosialisme) dan blok Barat (negara-negara yang menganut paham Liberalisme/ Kapitalisme).  Sederhananya, blok Timur memprioritaskan pemerataan kesejahteraan (distributional prosperity / equity), sekaligus mengenyampingkan perbedaan komparatif antar individu.  Di sisi yang lain, blok Barat lebih mengedepankan kebebasan dan penghargaan terhadap perbedaan komparatif dari kemampuan individu.
Adapun bidang kajian yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam system ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek social dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.[1]
Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang yang memepergunakan system kapitalis sebagai sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut Islam sebagai agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu negara. Dalam makalah ini memfokuskan pembahasan pada bagaimana gambaran singkat dari sistem ekonomi kapitalis dan Islam serta konsep dari masing-masing tentang distribusi (distribusi pendapatan dan kekayaan)? Dengan mempergunakan pendekatan filsafat ekonomi Islam agar mendapat gambaran yang jelas tentang keunggulan sistem ekonomi Islam.

B. Pembahasan
1. Sistem ekonomi kapitalis dan Islam serta konsep dari masing-masing tentang distribusi (distribusi pendapatan dan kekayaan

Berkaitan dengan masalah distribusi, sistem kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.[2]
Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia.
Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan.
Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi Islam sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Alquran, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.[3] Jadi sangat jelas bahwa ekonomi Islam terkait dan mempunyai hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.[4]
Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi. Dalam ekonomi yang berbasis islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) terkaper didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab.
Berkenaan dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan factor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja.[5] Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan ekonomi islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan di pihak yang lain.
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan  keadilan kepemilikan.[6] Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Alquran agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (QS al-Hasyr :7).[7]
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil  Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.[8]
Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi  kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqaah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.

2. Mewujudkan sistem distribusi kekayaan yang adil
Dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah dibenarkan menjadi sebuah alat untuk mengekspliotasi kelompok lain. Dalam hal ini kehadiran ekonomi Islam bertujuan membangun mekanisme distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan dan monopoli sumber daya alam di sekolompok masyarakat. Konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam hal ini antara lain dengan cara menciptakan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Keseimbangan ekonomi hanya akan dapat terwujud manakala kekayaan tidak berputar di sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan ekonomi, Islam memerintahkan sirkulasi kekayaan haruslah merata tidak boleh hanya berputar di sekelompok kecil masyarakat saja.
Sistem ekonomi Islam, melarang individu mengumpulkan harta secara berlebihan. Sebab, dengan adanya pengumpulan harta secara berlebihan berakibat pada mandegnya roda perekonomian. Oleh karena itu, penimbunan merupakan prilaku yang dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam al-Qur’an S. at-Taubah: 34 yang artinya “dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritakanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”.
Sedangkan dalam rangka mencegah praktek monopolistik, ekonomi Islam menawarkan langkah prioritas yang perlu dilakukan oleh otoritas yang berwenang yang dalam hal ini adalah pemerintah. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.      Zakat sebagai mekanisme pendistribusian harta dari golongan kaya kepada golongan miskin.
2.      Negara harus mengamati dan mengatur pemerataan distribusi sumber daya alam.
3.      Kekayaan masyarakat harus di kelolah negara dalam rangka optimalisasi hasil yang maksimal.
4.      Jasa layanan masyarakat yang menghasilkan keuntungan seperti kereta api, pos dan telegraf, listrik, air dan gas harus dikelola negara dalam rangka untuk menjamin pengelolaan yang efisien dan hasil yang terbaik.
5.      Jasa layanan masyarakat yang bersifat non profitables seperti jalan, sumur umum, tempat parkir dan yang lain harus di subsidi negara .
Sementara itu, pakar lain juga berpendapat bahwa tujuan ekonomi Islam tidak lain adalah mendorong tercapainya kesejahteraan dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Amin Akhtar yang menyatakan tujuan ekonomi Islam hanya dapat dipahami dalam konteks pandangan hidup Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, pada hakekatnya ekonomi Islam merupakan sistem yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kedermawanan, kemanfaatan serta kebajikan dan kemakmuran.
Konsep keadilan dalam Islam meliputi 3 hal pokok yakni keadilan dalam produksi (al-intaj), keadilan dalam konsumsi (al-istihlaq) dan keadilan dalam Distribusi (al-Tauzi’). Keadilan dalam produksi berorientasi pada pengakuan hak manusia mencari nafkah sesuai dengan kemampuan, kecakapan dan bakat alam, namun tidak memperkenankan merusak moral dan tatanan sosial. Keadilan dalam konsumsi berorientasi pada pelarangan segala bentuk pengeluaran yang dapat merusak moral dan masyarakat, seperti minuman keras, zina dan semua bentuk pengeluaran yang dapat merusak jiwa. Sedangkan keadilan dalam distribusi berorientasi pada keharusan terwujudnya pemerataan kekayaan dan faktor produksi.

3. Distribusi pendapatan dan pembangunan
Islam menghendaki adanya keadilan dalam distribusi pendapatan, dan ini tidak ada perbedaan di antara para penulis. Akan tetapi apakah keadilan dalam distribusi pendapatan merupakan tujuan atau sarana untuk meluluskan proses pembangunan ekonomi? Dan apakah yang dimaksud dengan keadilan distribusi itu? dan strategi apa yang efektif untuk merealisasikan keadilan itu?
Naqwa berpendapat bahwa keadilan distribusi itu sendiri adalah tujuan dari pada pembangunan sehingga harus konsisten dalam merealisasikanya sekalipun ia tidak bisa lepas dengan tingkat rata-rata pertumbuhan riil. Affar menambahkan bahwa kemajuan masyarakat tidak dianggap cukup dalam prespektif Islam selama kemajuan itu tidak disertai dengan keadilan distribusi.[9] Adapun al-Rubi berpendapat bahwa keadilan distribusi merupakan bagian dari iklim yang sesuai untuk merealisasikan pembangunan ekonomi.[10]
Keadilan distribusi tercermin pada adanya jaminan untuk memenuhi batas minimal pendapatan riil yaitu had al-kifayah bagi setiap orang. Keadilan tersebut meliputi pendistribusian antar generasi bukan untuk satu generasi saja. Keadilan tersebut berkaitan dengan keadilan distribusi secara geografis dan tanpa desentralisasi pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat.
Yasri mengaku bahwa membangun prinsip keadilan distribusi sebagai bagian dari strategi ekonomi. Hal ini kadang-kadang menyebabkan menurunnya jumlah rata-rata simpanan dalam masyarakat. Akan tetapi dampak atau pengaruh ini akan berubah dalam waktu yang relatif lama dengan pengaruh-pengaruh positif yang tercermin dalam komitmen, dan konsistensi masyarakat dan pertumbuhan konsumsi nasional.[11] Al-Rubi menambahkan bahwa pengaruh yang mungkin terjadi ini yaitu merealisasikan intensitas dalam ukuran besar bagi sumber-sumber islami melihat bahwa merealisasikan keadilan akan menyebabkan perluasan pasar.[12]

4. Distribusi kekayaan (tauzi’al amwal baina an nas)
Islam mensyariatkan hukum-hukum tentang distribusi kekayaan ke tengah masyarakat. Dalam hal distribusi, Islam mengaturnya dengan mewajibkan zakat dan membagikannya kepada 8 (delapan) golongan orang yang berhak menerimanya (fakir, miskin, amil, mualaf, ibnu sabil, fisabilillah, yatim piatu, hamba sahaya (budak)). Pemberian hak kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkan milik umum, pemberian kepada seseorang dari harta negara dan pembagian waris. Dalam hal distribsi, Islam mengharamkan adanya penimbunan barang, penimbunan uang dan emas serta sifat kikir dan bakhil.
Prinsip distribusi dalam Ekonomi Islam, dimana setiap muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (nisbah) diwajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan orang yang memerlukan.  Pengeluaran tersebut pajak keagamaan yang disebut zakat. Ketentuan pendistribusian zakat tersebut tidak dapat diubah. Pihak-pihak penerima zakat tersebut dapat diuraikan secara detil kepada :
1.      Orang Miskin yaitu orang tua atau orang cacat yang tidak memperoleh pendapatan untuk keperluan sehari-hari.
2.      Penganggur yang belum memperoleh pendapatan, pengungsi yang menghindari penindasan di negara asalnya.
3.      Orang yang membutuhkan.
4.      Seseorang yang tidak cukup pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
5.      Petugas Pengumpul Zakat termasuk didalamnya pengumpul,  pesuruh, pencatat, pembagi, penyimpan dan pemegang buku yang terlibat dengan pengumpulan zakat.
6.      Golongan Muallaf, orang yang baru masuk Islam yang memerlukan bantuan dan dorongan kehilangan kekayaan.
7.      Memerdekakan budak
8.      Orang yang berhutang, zakat digunakan untuk membantu orang yang berhutang bila pengutang tidak mempunyai kekayaan untuk melunasinya.
9.      Orang dalam perjalanan
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan diantara manusia dengan cara sebagai berikut:


a. Mekanisme Pasar
Mekanisme pasar adalah bagian terpenting dari konsep distribusi. Akan tetapi mekanisme ini akan berjalan dengan alami dan otomatis, jika konsep kepemilikan dan konsep pemanfaatan harta berjalan sesuai dengan hokum Islam. Sebab, dalam kehidupan ekonomi modern seperti saat ini, di mana produksi tidak menjadi jaminan konsumsi, melainkan hanya menjadi jaminan pertukaran saja, maka pengeluaran seseorang merupakan penghasilan bagi orang lain. Demikian pula sebaliknya.
b. Bentuk Transfer dan Subsidi
Untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dalam mekanisme pasar -karena alasan-alasan tertentu, seperti; cacat, idiot dan sebagainya-maka Islam menjamin kebutuhan mereka dengan berbagai cara sebagai berikut:
1.      Wajibnya muzakki membayar zakat yang diberikan kepada mustahik, khususnya kalangan fakir miskin.
2.      Setiap warga negara berhak memanfaatkan pemilikan umum. Negara boleh mengolah dan mendistribusikannya secara cuma-cuma atau dengan harga murah.
3.      Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal kepada yang memerlukan.
4.      Pemberian harta waris kepada ahli waris.
5.      Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).  Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang.
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni:
1.      Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu.
2.      Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyah al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
3.      Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
4.      Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
5.      Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6.      Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7.      Pemanfaatan secara optimal hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Kecenderungan insani untuk mengumpulkan harta yang kemudian berkonsekuensi kepada penumpukan inilah yang kemudian memunculkan kewajiban distribusi (pembagian) agar harta ini bersirkulasi tidak hanya pada sekelompok orang.  Namun, kembali constraintnya adalah dorongan egoisme yang tidak hanya terjadi pada manusia kebanyakan, para agamawan sekalipun terkena penyakit keengganan untuk mendistribusikan harta yang sudah terlanjur menumpuk pada mereka.
Dalam sistem ekonomi Islam, hal distribusi kekayaan di tengah masyarakat, selain mengandalkan mekanisme ekonomi yang wajar juga mengandalkan mekanisme non ekonomi. Dalam persoalan distribusi kekayaan yang timpang di tengah masyarakat, Islam melalui sistem ekonomi Islam telah menetapkan berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi.
Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu (1) apa yang disebut mekanisme ekonomi dan (2) mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi adalah mekanisme utama yang ditempuh oleh Sistem Ekonomi Islam untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankan dengan jalan membuat berbagai ketentuan yang menyangkut kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan yang menyangkut berbagai kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung normal. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan, atau pun kondisi-kondisi khusus seperti karena bencana alam, kerusuhan dan lain sebagainya, maka Islam memiliki sejumlah mekanisme non-ekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sistem Ekonomi Islam sangat berbeda dengan Sistem Ekonomi Kapitalis yang untuk terjadinya distribusi kekayaan mengandalkan (hanya) kepada mekanisme (harga) pasar. Mereka percaya bahwa dengan me~ggenjott produksi, tangan tak kelihatan (the invisible-hand) dalam mekanisme pasar akan mengatur distribusi kekayaan secara rasional. Bila kesejahteraan individu dicapai, resultantenya akan tercipta pula kesejahteraan bersama.
Kenyataannya, tangan-tangan tak kelihatan itu tidaklah muncul dengan sendirinya dalam mekanisme pasar. Dengan pola seperti itu, yang terjadi justru yang kaya makin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Kesejahteraan bersama menjadi sekadar harapan. Fenomena perkampungan kumuh, getho, atau apapun namanya, yang merupakan kantong-kantong penduduk miskin di tengah gemerlapnya kota metropolitan di berbagai belahan dunia sebagai bentuk kesenjangan ekonomi yang sangat mencolok, merupakan bukti sangat nyata dari kegagalan sistem distribusi yang sekadar mengandalkan mekanisine pasar. Tangan tak kelihatan yang diharapkan itu temyata tidak dengan sendirinya muncul.
Tegasnya, distribusi kekayaan secara lebih baik tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itupun banyak kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, juga judi, yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap lancarnya distribusi kekayaan). Maka mestinya harus ada pula mekanisme non ekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.

5. Problema Ekonomi dan Solusinya
Beberapa fakta di atas menunjukkan, problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Melimpahnya jumlah alat pemuas kebutuhan dalam sebuah negara tidak serta-merta bisa membuat semua orang tercukupi. Kemiskinan akan tetap terjadi jika sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir orang. Padahal kebutuhan primer manusia harus dipenuhi tiap-tiap orang. Karena itu, diperlukan sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga kebutuhan tiap-tiap orang-orang dapat terpenuhi.
Sistem ekonomi Kapitalisme jelas tidak bisa diharapkan menjadi solusi. Alih-alih menjadi solusi, buruknya distribusi kekayaan yang selama ini terjadi justru disebabkan oleh Kapitalisme. Sistem Kapitalisme yang hanya mengandalkan mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme distribusi kekayaan telah memunculkan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi.
Satu-satunya sistem ekonomi yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi hanyalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam juga tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Sebab, Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Sebagai buktinya, banyak sekali ayat al-Quran dan al-Hadits yang memerintahkan manusia untk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan. Pertama: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.(QS al-Nisa’ [4]: 29). Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak (QS al-Taubah [9]: 34). Dalam mekanisme pasar, kedua logam mulia itu berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Sebagai alat tukar, uang memiliki kedudukan amat strategis. Karena itu, jika uang ditarik dari pasar, maka akan berakibat pada seretnya pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti.
Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi. Padahal merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan oleh kualitas barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs—yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik-barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya. Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Akibatnya, penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.
Apabila berbagai hukum itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas. bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya; yang merugikan pihak lain. Karena itulah, di samping mekanisme pasar, Islam menyediakan mekanisme kedua: mekanisme nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal dari mekanisme nonpasar itu. Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang sebagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS at-Taubah [9]: 103), sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.
Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat; termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam fikih, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’. Dengan adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.
Penataan distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya dilakukan di ujung akibat, namun dalam keseluruhan sistemnya. Islam telah mencegah buruknya distribusi kekayaan mulai dari ketentuan kepemilikan. Islam, misalnya, menetapkan sejumlah sumberdaya alam sebagai milik umum, seperti tambang yang yang depositnya melimpah; sarana-sarana umum yang amat diperlukan dalam kehidupan (air, padang rumput, api, dll); dan harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya (sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll).
Jika dicermati, SDA yang tergolong sebagai milik umum itu amat penting bagi hajat hidup manusia. Nilainya pun amat besar. Apabila SDA itu boleh dikuasai individu tertentu, niscaya harta akan terkosentrasi pada sekelompok orang. Dengan menguasai SDA itu, pemilik modal besar akan dengan mudah pula menggelembungkan kekayaannya. Sebaliknya, kalangan miskin kian kesulitan mengakses SDA itu dan memenuhi kebutuhannya.
Islam juga mewajibkan negara menyediakan pendidikan gratis terhadap warganya. Ketentuan ini dapat memberikan kesempatan luas bagi kalangan miskin untuk mengubah keadaannya. Berbeda halnya jika biaya pendidikan dibebankan kepada rakyatnya sebagaimana saat ini. Mahalnya biaya pendidikan menutup akses kalangan miskin untuk memperolehnya. Ketika mereka tidak bisa mengenyam pendidikan, mereka pun tidak memiliki keahlian dan keterampilan. Akibatnya, mereka kehilangan harapan untuk mengubah keadaannya.
Apabila masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar antar individu, negara juga diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat. Caranya dengan memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.
Dari paparan di atas, nyatalah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang bisa menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Tentu saja, keunggulan sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada instiusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menerapkannya secara total.
Distribusi kekayaan itu diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ganimah, fa’i dsb). Ekonomi Islam juga telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Prinsip umum pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Q.S. Al Hasyr:  7). Maksud ayat tersebut adalah agar peredaran harta tidak hanya terbatas pada orang-orang kaya saja di negara tersebut. Inilah yang menjadi pilar dari ekonomi Islam yang berkaitan dengan ketentuan bagi pendistribusian harta kekayaan di tengah-tengah manusia.
Dari seluruh uraian di atas, kita dapat memberikan satu rumusan besar bagi berdirinya Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dikembangkan mengikuti pilar-pilar pengaturan yang utama, yaitu harta kekayaan yang ada di dunia ini seharusnya dimiliki, dimanfaatkan, dan didistribusikan secara sah dengan mengikuti ketentuan atau aturan dari Allah SWT sebagai Zat pemilik hakiki dari harta kekayaan tersebut.
Kesimpulan dari uraian di atas, akan didapati dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah aturan-aturan yang sangat jelas, rinci dan tegas menyangkut boleh (halal) dan tidak boleh (haram) yang berkaitan dengan harta yang beredar di tengah manusia, yang dengan aturan itu Allah menjamin bahwa harta akan terdistribusi secara adil dan merata. Selanjutnya, secara lebih terperinci Sistem Ekonomi Islam dapat dirumuskan ke dalam tiga pilar utamanya, yaitu (An-Nabhani, 1990):
1.        Kepemilikan (al-milkiyah), yang meliputi:
a.       Kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
b.      Kepemilikan umum (al milkiyah al-‘ammah).
c.       Kepemilikan negara (al milkiyah ad-daulah).
2.        Pemanfaatan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah), yang meliputi
a.       Penggunaan harta (infaq al-maal), yaitu untuk keperluan konsumsi.
b.      Pengembangan kepemilikan (tanmiyat al milkiyah), yaitu untuk keperluan produksi.
3.        Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas), yang meliputi:
a.       Distribusi secara ekonomis, yaitu melalui mekanisme pasar yang sesuai syari’ah.
b.      Distribusi secara non ekonomis, yaitu melalui peran individu, masyarakat maupun negara.
            Dari pilar-pilar Sistem Ekonomi Islam tersebut, kita dapat dengan mudah untuk membandingkannya dengan sistem ekonomi yang lain, baik sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana yang ada dalam ekonomi kapitalisme. Kita telah memahami, bahwa akibat adanya persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme  (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya), telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
            Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan sistem ekonomi sosialisme. Di dalam sistem ekonomi Islam, individu-individu tetap diberi ijin untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat seperti pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang. Itulah yang menjadi sebab mundur dan hancurnya ekonomi sosialisme. Di sisi lain, keunggulan dari sistem ekonomi Islam sangat jelas dapat dilihat dari adanya ketentuan kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut. Harta kepemilikan umum tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta, apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang

C. Kesimpulan
Sistem pendistribusian dalam system ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN



Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.

Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, Bangil : Al-Izzah, 2001.

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

Affar, Muhammad Abdul Mun’im, al-Takhtith wa al-Tanmiyah fi al-Islam, Jeddah:Dar al-bayan al-Arabi, 1985.

Al-Rubi, Mahmud, Al-Minhaj al-Islami fi al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Ijtima’iyah dalam Majallat al-dirasat all-tijariyah wa al-islamiyah, Markaz solih Abdullah Kamil li al-dirasat al-tijariyah wa al-islamiyah, nomor 3, tahun ke satu Juli 1984.

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004.

M Iman Indrakusumah, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari  www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=179342&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291   26 Nopember 2004

Yasri, Ahmad Abdurrahman, Al-Tanmiyah al-iqtisodiyah wa al-ijtima’iyah fi al-Islam, Iskandariya: Muassasah Syabab al-Jami’ah, tt.

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.




[1]Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004), hlm. 234
[2]Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, (Bangil : Al-Izzah, 2001), hlm. 12
[3]Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14

[4]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. VI
[5]Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam,.., hlm14

[6]Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, dan Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hal. 18
[7]Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 7

[8]M Iman Indrakusumah, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari  www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=179342&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291   26 Nopember 2004
[9]Affar, Muhammad Abdul Mun’im, al-Takhtith wa al-Tanmiyah fi al-Islam, (Jeddah:Dar al-bayan al-Arabi, 1985) hlm. 223.

[10]Al-Rubi, Mahmud, Al-Minhaj al-Islami fi al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Ijtima’iyah dalam Majallat al-dirasat all-tijariyah wa al-islamiyah, (Markaz solih Abdullah Kamil li al-dirasat al-tijariyah wa al-islamiyah), nomor 3, tahun ke satu Juli 1984), hlm. 35.

[11]Yasri, Ahmad Abdurrahman, Al-Tanmiyah al-iqtisodiyah wa al-ijtima’iyah fi al-Islam, (Iskandariya: Muassasah Syabab al-Jami’ah, tt), hlm. 63

[12]Al-Rubi, Al-Minhaj... hlm. 50

1 komentar:

  1. izin copy pak, terimakasih sebelumnya ini membantu saya dalam membuat artikel

    BalasHapus