Sabtu, 15 Oktober 2011

PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL



A.    Pengantar
Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[1] Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem-sistem yang lain seperti welfare state, state capitalism, market socialisme, democratic sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem sosialisme dianggap telah tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Dalam konteks tulisan ini, maksud ekonomi konvensional adalah sistem ekonomi kapitalisme yang hingga kini masih menjadi sistem ekonomi kuat di dunia.

B.     Pokok-pokok ekonomi konvensional
1.      Sejarah
Sistem ekonomi konvensional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil kebijakan negara.
Lahirnya sistem ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada suatu masa, di Benua Eropa pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan terhadap hak milik manusia, melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus dipersembahkan kepada pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada zaman tersebut yang kemudian terkenal dengan sistem universalisme. Sistem ini ditegakkan atas dasar keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan, milik Tuhan dan harus dipulangkan kepada Tuhan”.
Kemudian lahir pula golongan baru, yang mendekatkan dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini yang berkuasa di daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan memaksa rakyat menjadi hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem feodal hidup subur di bawah faham universalisme. Faham ini lebih terkenal dengan feodalisme. Jika kaum feodal memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka kaum agama dengan nama Tuhan menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya kaum feodal yang bekerjasama dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak milik manusia untuk kepentingan mereka sendiri.
Gambaran yang dapat diperoleh dari zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti hewan, tidak mempunyai fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri dan semuanya hanyalah kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu kesalahan besar yang pernah diperbuat oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh masyarakat Eropa berontak dan mengadakan perlawanan menentang kaum agama dan feodal. Pecahlah revolusi Perancis yang sudah terkenal itu.
Revolusi Perancis (1789 – 1793) dipandang sebagai puncak kegelisahan dari rakyat yang tertindas dan dirampas haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang luar biasa mereka menghancurkan universalisme dan feodalisme yang mengikat mereka. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum agama dan feodal, tetapi juga menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu dibuat kedok oleh kedua golongan di atas.
Di samping itu, berkembangnya sistem ekonomi kapitalis juga dapat dirunut dari sejak munculnya faham fisiokrat (abad 17) yang mengatakan bahwa pertanian adalah dasar dari produksi negara, sebab itu, seluruh perhatian harus ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian. Kemudian lahir pula paham merkantilisme (awal abad 18) yang mengatakan bahwa perdagangan adalah lebih penting dari pertanian, karena itu pemerintah harus memberikan perhatiannya kepada mencari perdagangan dengan negara-negara lainnya.
Pada pertengahan abad ke-18, lahirlah paham baru yang dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di Inggris. Menurut dia, bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan dirinya. Sebab itu ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka. Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang bebas tadi. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan sistem ekonomi, sistem ekonomi kapitalis.
Berkembangnya paham kapitalis menimbulkan reaksi yang ditandai dengan munculnya paham komunisme. Paham ini lahir dari seorang Jerman, bernama Karl Marx pada tahun 1848 yang sangat kecewa terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dianggap telah menyengsarakan rakyat banyak. Silih berganti nasib yang dilalui paham Marx itu. Tetapi akhirnya sewaktu Lenin mendirikan pertama kali negara komunis di Rusia pada tahun 1917, maka marxisme telah menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai dasar bagi negara baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah menguasai hampir separo dari penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Rusia.

2.      Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Landasan filosofi sekaligus welstanchaung sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme. Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu dianggap memiliki serakah atau rakus terhadap materi. Dalam perspektif materialisme hedonisme murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi dan diorientasikan kepada segala sesuatu yang bersifat material. Manusia dianggap merasa bahagia jika segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara melimpah. Pengertian kesejahteraan yang materialistik seperti ini seringkali menafikan atau paling tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur spiritual ruhaniah.[2]
Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama perekonomian. Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme.
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals do not intentionally make decisions that would leave them worse off.[3] Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya orang yang berpacaran menghabiskan waktu dan uang, dan lain sebagainya.
Rasionaliti merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah makhluk rasional.[4] Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. Yang dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.[5] Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia.
Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[6] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar