TULISAN ini dilatari tiga hal. Pertama, menyikapi Aceh Job Fair (bursa kerja) 2010 yang sudah ditutup Jumat (26/11/2010) lalu di Banda Aceh. Kedua, Kurikulum pendidikan kita yang lebih mengarahkan siswa condong untuk menjadi orang gajian. Ketiga, keinginan manusia yang sangat normatif yaitu ingin menjalani hidup dengan berkecukupan.
Dari akar masalah itu, saya banyak mendengarkan para orang tua yang berkata seperti ini: "Dibanding mewariskan harta saya lebih cenderung mewariskan ilmu pada anak saya karena bila dititipkan harta pasti habis. Tapi bila dititipkan ilmu mereka akan bisa hidup makmur, nyaman dan mandiri."
Benarkah jika anak dititipkan ilmu dengan sekolah setinggi tingginya dapat hidup makmur? "Paradigma usang" seperti itu, penulis dengar dari mayoritas orang tua mulai dari orang tua biasa hingga yang berpendidikan tinggi. Paradigma yang melahirkan statemen bahwa pendidikan dapat membuat hidup berkecukupan memang tidak salah. Banyak sarjana (apalagi sarjana kedokteran) yang memiliki kehidupan yang mapan. Tapi tak sedikit juga sarjana hidup sederhana saja. Bahkan menganggur.
Sebenarnya yang saya sayangkan dengan statemen tersebut adalah "Pendidikan" dimaknai secara sempit oleh masyarakat kita dengan lebih mengartikan menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga Sarjana. Padahal bukan itu, justru "pendidikan finansial di dunia nyatalah", bukan di sekolah, yang akan menyebabkan seseorang sanggup bertahan dari badai kesulitan ekonomi yang dapat menerpa kapan saja.
Pakar ilmu finansial Robert T Kyosaki mengarang buku berjudul, "If you want to be rich, don't go to scool" (Jika anda ingin kaya, jangan pergi ke sekolah). Seseorang walau dengan gelar sarjana sekalipun juga akan terkapar jika dihantam badai kesulitan ekonomi sebagai "orang gajian" di instansi tempat ia bekerja. Karena mentalnya adalah mental buruh, bukan mental pengusaha yang tahan banting.
Ingin kaya? bukan sekolah tempatnya. Tapi di dunia bisnislah yang akan menempa seseorang untuk menjadi seorang pengusaha tangguh dan tahan banting. Jadi, virus entrepreneur inilah yang harus disuntikkan pada generasi muda melalui perubahan kurikulum pendidikan. Ibarat memanjat pohon kelapa maka ketinggian pohon pepaya pasti terlewati. Tapi jika memanjat pohon pepaya jangan harap bisa menyamai tinggi pohon Kelapa. Artinya, jika anak di- setting jadi pengusaha, serendah rendahnya pasti mampu jadi orang gajian. Tapi jika anak disetting jadi orang gajian, ia tak akan punya nyali jadi pengusaha.
Kepentingan rezim berkuasa
Dahulu, rezim berkuasa mempersulit warga menjadi entrepreneur dengan cara monopoli, regulasi, dan birokrasi yang berbelit-belit. Kesulitan memulai bisnis membuat calon pengusaha di masa itu mundur teratur. Kurikulum pendidikan juga "di-setting" oleh Rezim untuk mencetak warganya menjadi pegawai saja.
Langkah yang tepat saat ini adalah mengubah kurikulum pendidikan agar memacu siswa menjadi seorang entrepreneur sejati yang tangguh. Hingga saat ini di sekolahan juga masih banyak pola pikir kuno berseliweran. Ada oknum guru berkata "Para murid harus rajin belajar, raih rangking satu, supaya setelah tamat nanti bisa bekerja di BUMN strategis dan dapat gaji tinggi.
" Lalu setelah tamat sekolah, anak didik melamar kerja untuk jadi orang gajian alias buruh. Khusus bagi mereka yang memiliki titel jika diterima mereka diberikan seragam buruh yang agak berbeda seperti dasi yang terlihat sedikit "keren" padahal tetap saja namanya buruh. Yang pasti orang yang menerima gaji tidak akan pernah lebih kaya daripada orang yang memberinya gaji.
Mengubah Kultur
Mengubah paradigma "seolah-olah" memaksakan orang untuk mengubah agama yang diyakininya benar. Bisa dibayangkan akan terjadi pro dan kontra yang cukup menghebohkan. Karenanya berharap mengubah kurikulum pendidikan saja akan mustahil karena kurikulum pendidikan disusun oleh narasumber ahli yang masih memiliki paradigma lama.
Jadi orang tua sebagai "sekolah pertama" yang dikenal anak harus "menyuntikkan" virus entrepreneur kepada anaknya sedari awal. Orang tua harus berani memprovokasi anaknya dengan kata-kata: "Nak.. Ayah sudah terlanjur jadi orang gajian. Ayah adalah korban Rezim zaman dulu. Jadi, jika kamu besar nanti jangan mau jadi orang gajian seperti ayah. Jadilah pengusaha, sekalipun pengusaha tahu- tempe namun pastikan UKM yang kamu dirikan itu akan selalu bertumbuh, keraslah pada dirimu sendiri untuk berdisiplin dan bangun integritas dirimu karena integritas diri itu sangat fatal apalagi di mata perbankan. Semua Perbankan menyukai pengusaha seperti ini. Tirulah Bob Sadino, hanya dari lima butir telur hingga kemudian jadi besar karena berdisiplin keras, bandel, dan tahan banting.
Inilah pesan yang disampaikan para orang tua yang memiliki pola pikir radikal positif dalam memprovokasi anak-anaknya. Anak adalah kertas putih, tergantung kita mau membuatnya seperti apa. Kalau kita mencetaknya jadi orang gajian maka jadilah ia orang gajian. Dan jangan salahkan kalau banyak orang tua setelah pensiun beralih profesi jadi baby sitter, jaga cucu karena kedua orang tua si bayi pergi kerja. Jangan salahkan anak, jika ketika mereka berkeluarga, masih juga ikut "menanduk" orang tua ketika mereka tak bisa bayar kontrakan rumah.
Aceh Job Fair (bursa kerja) 2010 yang berlangsung di Banda Aceh, jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya, juga untuk "meng-amini sistem" pendidikan dari pemerintah tadi, mencetak orang gajian. Boleh dikatakan semua lembaga kursus di Indonesia juga memiliki visi dan misi menjadikan peserta didiknya untuk jadi orang gajian seumur hidup. Bahkan, salah satu lembaga kursus mengiklankan diri dengan bunyi: --95% alumni LPxxx sudah bekerja--.
Sistem pendidikan kita masih menyesatkan pola pikir anak muda potensial. Banyak di antara mereka terjerumus menjadi orang gajian sampai mati. Siapakah yang bisa mengubah?
Dari akar masalah itu, saya banyak mendengarkan para orang tua yang berkata seperti ini: "Dibanding mewariskan harta saya lebih cenderung mewariskan ilmu pada anak saya karena bila dititipkan harta pasti habis. Tapi bila dititipkan ilmu mereka akan bisa hidup makmur, nyaman dan mandiri."
Benarkah jika anak dititipkan ilmu dengan sekolah setinggi tingginya dapat hidup makmur? "Paradigma usang" seperti itu, penulis dengar dari mayoritas orang tua mulai dari orang tua biasa hingga yang berpendidikan tinggi. Paradigma yang melahirkan statemen bahwa pendidikan dapat membuat hidup berkecukupan memang tidak salah. Banyak sarjana (apalagi sarjana kedokteran) yang memiliki kehidupan yang mapan. Tapi tak sedikit juga sarjana hidup sederhana saja. Bahkan menganggur.
Sebenarnya yang saya sayangkan dengan statemen tersebut adalah "Pendidikan" dimaknai secara sempit oleh masyarakat kita dengan lebih mengartikan menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga Sarjana. Padahal bukan itu, justru "pendidikan finansial di dunia nyatalah", bukan di sekolah, yang akan menyebabkan seseorang sanggup bertahan dari badai kesulitan ekonomi yang dapat menerpa kapan saja.
Pakar ilmu finansial Robert T Kyosaki mengarang buku berjudul, "If you want to be rich, don't go to scool" (Jika anda ingin kaya, jangan pergi ke sekolah). Seseorang walau dengan gelar sarjana sekalipun juga akan terkapar jika dihantam badai kesulitan ekonomi sebagai "orang gajian" di instansi tempat ia bekerja. Karena mentalnya adalah mental buruh, bukan mental pengusaha yang tahan banting.
Ingin kaya? bukan sekolah tempatnya. Tapi di dunia bisnislah yang akan menempa seseorang untuk menjadi seorang pengusaha tangguh dan tahan banting. Jadi, virus entrepreneur inilah yang harus disuntikkan pada generasi muda melalui perubahan kurikulum pendidikan. Ibarat memanjat pohon kelapa maka ketinggian pohon pepaya pasti terlewati. Tapi jika memanjat pohon pepaya jangan harap bisa menyamai tinggi pohon Kelapa. Artinya, jika anak di- setting jadi pengusaha, serendah rendahnya pasti mampu jadi orang gajian. Tapi jika anak disetting jadi orang gajian, ia tak akan punya nyali jadi pengusaha.
Kepentingan rezim berkuasa
Dahulu, rezim berkuasa mempersulit warga menjadi entrepreneur dengan cara monopoli, regulasi, dan birokrasi yang berbelit-belit. Kesulitan memulai bisnis membuat calon pengusaha di masa itu mundur teratur. Kurikulum pendidikan juga "di-setting" oleh Rezim untuk mencetak warganya menjadi pegawai saja.
Langkah yang tepat saat ini adalah mengubah kurikulum pendidikan agar memacu siswa menjadi seorang entrepreneur sejati yang tangguh. Hingga saat ini di sekolahan juga masih banyak pola pikir kuno berseliweran. Ada oknum guru berkata "Para murid harus rajin belajar, raih rangking satu, supaya setelah tamat nanti bisa bekerja di BUMN strategis dan dapat gaji tinggi.
" Lalu setelah tamat sekolah, anak didik melamar kerja untuk jadi orang gajian alias buruh. Khusus bagi mereka yang memiliki titel jika diterima mereka diberikan seragam buruh yang agak berbeda seperti dasi yang terlihat sedikit "keren" padahal tetap saja namanya buruh. Yang pasti orang yang menerima gaji tidak akan pernah lebih kaya daripada orang yang memberinya gaji.
Mengubah Kultur
Mengubah paradigma "seolah-olah" memaksakan orang untuk mengubah agama yang diyakininya benar. Bisa dibayangkan akan terjadi pro dan kontra yang cukup menghebohkan. Karenanya berharap mengubah kurikulum pendidikan saja akan mustahil karena kurikulum pendidikan disusun oleh narasumber ahli yang masih memiliki paradigma lama.
Jadi orang tua sebagai "sekolah pertama" yang dikenal anak harus "menyuntikkan" virus entrepreneur kepada anaknya sedari awal. Orang tua harus berani memprovokasi anaknya dengan kata-kata: "Nak.. Ayah sudah terlanjur jadi orang gajian. Ayah adalah korban Rezim zaman dulu. Jadi, jika kamu besar nanti jangan mau jadi orang gajian seperti ayah. Jadilah pengusaha, sekalipun pengusaha tahu- tempe namun pastikan UKM yang kamu dirikan itu akan selalu bertumbuh, keraslah pada dirimu sendiri untuk berdisiplin dan bangun integritas dirimu karena integritas diri itu sangat fatal apalagi di mata perbankan. Semua Perbankan menyukai pengusaha seperti ini. Tirulah Bob Sadino, hanya dari lima butir telur hingga kemudian jadi besar karena berdisiplin keras, bandel, dan tahan banting.
Inilah pesan yang disampaikan para orang tua yang memiliki pola pikir radikal positif dalam memprovokasi anak-anaknya. Anak adalah kertas putih, tergantung kita mau membuatnya seperti apa. Kalau kita mencetaknya jadi orang gajian maka jadilah ia orang gajian. Dan jangan salahkan kalau banyak orang tua setelah pensiun beralih profesi jadi baby sitter, jaga cucu karena kedua orang tua si bayi pergi kerja. Jangan salahkan anak, jika ketika mereka berkeluarga, masih juga ikut "menanduk" orang tua ketika mereka tak bisa bayar kontrakan rumah.
Aceh Job Fair (bursa kerja) 2010 yang berlangsung di Banda Aceh, jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya, juga untuk "meng-amini sistem" pendidikan dari pemerintah tadi, mencetak orang gajian. Boleh dikatakan semua lembaga kursus di Indonesia juga memiliki visi dan misi menjadikan peserta didiknya untuk jadi orang gajian seumur hidup. Bahkan, salah satu lembaga kursus mengiklankan diri dengan bunyi: --95% alumni LPxxx sudah bekerja--.
Sistem pendidikan kita masih menyesatkan pola pikir anak muda potensial. Banyak di antara mereka terjerumus menjadi orang gajian sampai mati. Siapakah yang bisa mengubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar