Jumat, 30 September 2011

Kepemimpinan Utsman Ibn Affan dan Ali Bin Abi Talib


KEPEMIMPINAN
UTSMAN IBN AFFAN DAN ALI BIN ABI TALIB
( 24-35 H/644-656 M)             (35-40 H/656-661 M)


I. PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa kehidupan pada masa jahiliyah yang identik dengan konflik dalam kontek berbagai aspek, termasuk politik, budaya, agama dan bahkan sosial, tentu akan menjadi bahan perbandingan dan zaman Khulafaur-Rasyiddin, keadaan tersebut masih mewarnainya. Dalam pemerintahan Utsman ibn Affan juga situasi itu masih berlangsung, terbukti wafatnya Utsman adalah dilatar belakangi oleh konflik yang terjadi ketika itu.
Ada beberapa konsekwensi logis yang mengantarkan kita pada latar belakang terpilihnya Utsman, walaupun telah diketahui bersama bahwa pengangkatan Utsman adalah atas campur tangan "Umar" dan keadaan itulah yang menjadi embrio permasalah yang klimaknya tepat pada pemerintahan Utsman ibn Affan
Khalifah Utsman Bin Affan (kalifah ke-III) dan Ali Bin Abi Thalib (kalifah ke-IV) tidak terlepas dari pengaruh geliat jahiliyah, makalah ini akan menjelaskan bagaimana kondisi sosial seperti ekonomi, politik, agama dan lain-lain pada masa dua khalifah yang terakhir ini. Bagaimana kondisi itu saling berkaitan hingga menjadi faktor penyebab kekacauan pada masa kedua khalifah ini. Apakah nepotisme dan korupsi layak dituduhkan kepada Utsman?, benarkah Ali terlibat dalam konspirasi pembunuhan Utsman seperti yang dituduhkan sahabat-sahabatnya kala itu ?.

II. PEMBAHASAN
A.     Utsman ibn Affan
1.      Kepemimpinan Utsman ibn Affan
Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umayyah, dilahirkan di waktu Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas seruan Abu Bakar Ash Shiddieq. Beliau terhitung saudagar besar dan kaya, dan sangat pemurah dan menafkahkan hartanya untuk kepentingan agama Islam.
Di waktu Rasulullah mengerahkan “Jaisyul Usrah” (balatentara yang dikerahkan dalam waktu kesukaran, yakni pada peperangan Tabuk) Utsman mendermakan 950 Unta, 59 ekor kuda dan 1000 Dinnar untuk keperluan lasykar. Pada peristiwa-peristiwa sebelum itupun Utsman banyak sekali mendermakan harta dengan tidak ditahan-tahannya, untuk kemenangan Islam.[1]
Beliau termasuk sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah untuk masuk Surga. Ada diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “ Tiap-tiap Nabi mempunyai teman, temanku di Surga ialah utsman.” Oleh karena pertalian beliau amat akrab dengan Rasullah, maka Rasullah mengawinkannya dengan putrinya yang bernama Ruqaiyah dan setelah Ruqaiyah meninggal dalam peperangan Badr, maka Nabi mengawinkannya dengan putri yang kedua, yaitu Ummu Kalsum oleh karena itu Utsman dikenal dengan sebutan “Dzun Nurain” (yang mempunyai dua cahaya). Ummu Kalsum meninggal pada tahun sembilan Hijriyah. Rasulullah berkata kepadanya : “Andaikata kata kami mempunyai putri yang ketiga, tentu akan kami kawinkan pula dengan engkau”.[2]

2. Pengangkatan Utsman
Ketika  Khalifah Umar menjelang wafat ummat Islam menyarankan untuk memilih Khalifah sebagai pengganti. Karena itu beliau mengambil jalan tengah, antara menunjuk dan tidak. Beliau menunjuk enam orang sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Rasulullah akan masuk surga, dan mereka adalah orang-orang terbaik, pun ditinjau dari sifat kedudukan masing-masing mereka pastilah orang yang akan menjadi Khalifah dan itu harus dipilih diantara mereka. Diantara mereka berenam yaitu: Utsman ibnu ‘Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqash dan Abdurrahman ibnu “Auf.
Melalui persaingan yang sangat alot dengan Ali, sidang yang diberi nama saat itu sidang (komisi) Ahlu asy Syura atau Ahlu al-Halli wa al-‘Aqli  dimana lembaga ini dibentuk dan bergerak dalam bidang yudiritas dan bertugas mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa sebagai wakil rakyat yang dipercaya untuk tugas itu dan lembaga sebagai penampung dan penyalur aspirasi rakyat saat itu, akhirnya memberi mandat ke-Khalifahan kepada Utsman Ibnu ‘Affan dijaman Khulafaurrasyidin, yaitu periodenya sampai mencapai 12 tahun lamanya, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang indah dan sukses baginya.[3] Dalam sejarah mengatakan jaman pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu 6 tahun masa keemasan atau jaman perluasan ekspansi Islam, dan 6 tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.[4]
Selama paruh pertama pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama pada perluasan wilayah kekuasaan Islam[5]. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai oleh Islam seperti Mesir dan Irak dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedi Militer yang terencanakan secara cermat dan simultan disegala front, di Mesir pasukan Muslim diintruksikan Memasuki Afrika Utara.
Salah-satu pertempuran penting disini adalah “Zatis Sawari” (peperangan tiang kapal) yang terjadi dilaut Tengah dekat kota Iskandariyah antara Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine dengan Lasykar Muslim yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Abi Sarah[6]. Pada perang itu Islam berhasil mengalahkan Romawi yaitu bergerak menuju Basrah untuk menaklukkan sisa kerajaan Sasan di Irak dan dari kota Kuffah sampai menuju Laut Kaspia.
Perluasan-perluasan berikutnya terus jadi sasaran dalam pemerintahan Utsman dan tentunya Islam saat itu penuh dengan kekayaan dan kekuatan militernya. Upaya-upaya lain pun dilaksanakan seperti penyebaran Agama Islam. Masa-masa yang dilewati oleh Khalifah yang terkenal dengan kedermawanannya dan juga ketaatannya dalam beragama,  dan sebagai pengganti Khalifah Umar ia memberikan warna yang berbeda, dengan membuat terobosan-terobosan terutama dalam merubah Islam kepada perubahan dan termasu.[7] Pengumpulan macam-macaman teks Al-Qur’an-   yang kemudian ditulis dalam tulisan atau aturan bacaan yang satu agar tidak terjadi perdebatan dalam hal menetapkan bacaan Al-Qur’an dan sebagai rujukan bagi Al-Qur’an yang dialeg bacaan berbeda yang dikepalai oleh Zaid Ibnu Sabit.
3.      Tuduhan Nepotisme dan Tadwin Mushaf Imam
Nepotisme berasal dari bahasa Yunani yaitu nepiu yang artinya keponakan dan dalam bahasa Inggris berasal dari kata Nepotism dapat diartikan dengan: mendahulukan sanak saudaranya sendiri khususnya dalam pemberiaan jabatan.[8]
Dalam pemerintahan Khalifah Utsman tergolon
g sukses pada enam tahun awal dari pemerintahannya, namun sesuai dengan cacatan sejarah bahwa enam kedepan banyak terjadi perubahan-perubahann termasuk tuntutan rakyat, dimana adanya Nepotisme ditubuh pemerintahan Utsman sangat meresahkan kehidupan rakyat.[9]
Ketika Utsman mengangkat Marwan ibnu Hakam, sepupu Khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik, menjadi sekretaris utamanya, dan ketika itu spontan rakyat timbul mosi tak percaya terhadap keputusan yang diambil oleh Utsman tersebut. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid ibnu Uqbah dan Abdullah ibnu Sa’ad masing-masing menjadi Gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum.
Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat Khalifah memperoleh harta pemerintah dengan mengorban kekayaan umum dan tanah Negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah dan Marwan sendiri menyalahgunakan harta Baitul Mal (dipakai untuk kepentinagn pribadi dan diberikan juga untuk kaum kerabat lainnya dan seakan-akan beliau tidak sadar bahwa harta Baitul Mal adalah Harta Kaum Muslimun) Muawiyah mengambil alih tanah Negara Suriah dan Khalifah mengijinkan Abdullah untuk mengambil untuk dirinya sendiri seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.
Situasi itu benar-benar semakin mencekam, bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan ummat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Penulisan Al-Qur’an yang diperkirakan sebagai langkah yang efektif malah menjadi menambah permasalahan dan bahkan mengundang kecaman, dan juga Utsman malah dituduh tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang dibakukan itu. Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh[10], di Kuffah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang Gubernur yang diangkat Oleh Khalifah. Selain ketidaksetian rakyat terhadap Abdullah ibnu Sa’ad saudara angkat Khalifah sebagai penggati Gubernur ‘Amr ibn Ash juga karena komplik soal pembagian ganimah.[11]
Ada beberapa hal yang mendasari kenapa hal itu terjadi, yaitu pada saat pemerintahan Abu Bakar  dan Umar para pejabat senior tidak diperbolehkan keluar dari Madinah. Karena mereka adalah sebagai percontohan bagi pejabat junior, namun aturan itu tidak diterapkan lagi oleh Utsman. Tetap Utsman lebih cenderung dan lebih sering berdiskusi dengan pejabat junior yang notabenennya adalah kaum kerabatnya sendiri yang haus akan kekuasaan dan jabatan[12].
Pergolakan semakin memanas saat itu, Abdullah ibn Saba' seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, memotori para sahabat untuk membuat gerakan-gerakan pemberontakan, sahabat yang terpancing oleh tipu daya muslihat Abdullah ibn Saba' adalah: Abu Zar al-Ghiffari, Ammar ibn Yasir` dan Abdullah ibn Mas'ud. Sebenarnya Abdullah ibn Saba' telah cukup lama menantikan moument ini, dimana situasi ini dapat menghancurkan Islam, yang pertama-tama ia mempropaganda barisan pengikut Ali ibn Thalib.
Waktu itu barisan pengikut Ali selalu dimarjinalkan oleh pejabat-pejabat dari pihak Utsman, isu-isu yang dilancarkan oleh Abdullah ibn Saba' bagaikan gayung bersambut, dan saat itu lahirlah golongan yang disebut dengan "Mazhab Whisayah"[13]. Mazhab ini mempunyai ideologi bahwa Alilah yang berhak menjadi Khalifah dan dia adalah orang yang mendapat wasiat dari Nabi Muhammad SAW. Para penganut mazhab ini sangat memuliakan Ali sebagaimana rasul menjulukinya sebagai "Pintu Ilmu". Paham tersebut sesuai dengan doktrin dan ideologi yang dibawa oleh Abdullah ibn Saba' dan ia menambahi paham itu dengan paham-paham yang dibawanya dari Persi yaitu paham "Hak Ilahi", aliran ini berasal dari Persi yang dibawa ke Yaman tempat kelahiran Abdullah ibn Saba' fase sebelum datangnya Islam. Menurut paham ini Alilah yang berhak sebagai Khlifah tetai Utsman mengambilnya dengan jalan pemaksaan.

4. Pemberontakan Terhadap Utsman
Beranjak dari hasutan-hasutan Abdullah ibn Saba', semua isu-isu kotornya sangat tepat sasaran, shingga setiap kebijakan-kebijakan Utsman menjadi bumerang baginya, ditambah lagi para kerabatnya tidak punya tanggung jawab terhadap rakyat.
Terjadilah pembrontakan-pembrontakan dimana-mana, saat iitu yang paling getol mengkritiksi Utsman adalah Abu Zar al-Ghiffari, ia menyoroti aspek nefotisme dan kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi ditubuh pemerintahan Utsman[14]. Ketika kobaran-kobaran pembrontakan didaerah menuntut agar Utsman segera turun dari pemerintahan, namun Utsman ibn Affan tetap bersikukuh mempertahankan kekahlifahannya.
Mesir dan Basrah, mereka merapatkan barisan menuju ke Madinah dan sampai disana mereka bertemu dengan Ali ibn Thalib yang berusaha bernegosiasi dengan mereka yang datang dari Mesir dan Basrah. Karena kebijakan dan ketawadukan Ali ibn Thalib, para pemberontak itu bersikap legowo dan memahami saran-saran Ali, dan bersedia untuk kembali kedaerah masing-masing [15].
Saat diperjalanan, menuju daerah masing-masing, pemberontak asal Mesir memergoki seorang kurir yang membawa surat perintah, yang isi surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Mesir untuk membunuh pemimpin pemberontak ketika mereka sampai di Mesir, dan surat tersebut berstempelkan Khalifah.
Setelah diteliti ternyata surat tesebut ditulis oleh Marwan ibn Hakam tanpa sepengetahuan Utsman ibn Affan, kemudian mereka membatalkan untuk kembali pulang ke Mesir dan menghubungi pemberontak yang dari Basrah agar segera kembali dan bersama-sama menuju Madinah untuk mempertanyakan hal tersebut. Dalam perjalanan ke Madinah mereka mendengar kabar bahwa pasukan dari Mesir dan Syam sedang bersiap-siap menuju Madinah untuk melindungi Utsman ibn Affan dan pasukan tersebut bermaksud untuk membasmi mereka[16].
Saat itu keadaan semakin genting, dan begitu mendengar kabar tentang kedatangan pasukan dari Mesir dan Syam tersebut, pasukan pemberontak bahkan bermaksud untuk membunuh Utsman ibn Affan[17]. Padahal ketika menemukan surat dari kurir (yang berisikan untuk membunuh pemimpin mereka) tidaklah ada prasangka yang positif mereka apa maksud dan tujuan surat tersebut, apakah hanya berbentuk provokasi atau sebagai polotik Marwan ibn Hakam untuk menjatuhkan Utsman agar bani Umayyah menggantikan  ke Khalifahan Utsman ibn Affan.
Walaupun selintas, surat tersebut adalah berstempelkan Khalifah dan jelas-jelas yang memegang stempel saat itu adalah Marwan ibn Affan, namun yang membuat surat diketahui pastinya dan hanya tuduhan tanpa saksi dan bukti konkrit[18].
Ditambah lagi provokasi Abdullah ibn Saba' maka hilanglah keimanan dan ketaqwaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, yang ada saat itu hanyalah dendam dan nafsu ingin membunuh Utsman ibn Affan.
Akibat nafsu yang tidak dapat dikendalikan lagi, sesampai di Madinah mereka langsung mendatangi rumah Utsman ibn Affan, Ketika itu Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husin dan beberapa orang lainnya berusaha menghalau dan mencoba bernegosiasi kembali, Namun hal tersebut gagal, karena banyaknya para pembrontak, Ali ibn Thalib dan yang lainnya tak kuasa menghalangi mereka yang penuh dengan hawa nafsu untuk membunuh Utsman ibn Affan[19].
Dan mereka mulai mengepung rumah Utsman ibn Affan yang saat itu Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur'an dan saat menemukan Utsman, dengan tangan-tangan Iblis para pemberontak itu menghujamkan pedangnya kearah Utsman yang sudah tua-renta  itu, dan pemberotak lainnya berduyun-duyun menghabisi Utsman dan akhirnya ia tewas bersama keluarganya.
Dengan bersimbah darah Utsman ibn Affan terbujur kaku di atas sajadahnya dan saat itu tiada lagi aroma keIslaman yang ada hanya aroma Iblis yang mengisi ruang-ruang rumah Khalifah Utsman Affan. Maka berakhirlah ke Khalifahan Utsman ibn Affan yang berlangsung sampai dua belas tahun lamanya.

B.     Kepemimpinan Ali bin Abi Talib yang Kurang Efektif
1. Ali Bin Abi Thalib Sebelum Khalifah
Ali bin Abu Thalib r.a. nama Abu Thalib adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib. Beliau adalah sepupu Rasul juga menantunya, ibunya bernama Fatimah Binti Asad Binti Hasyim, ia dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran Nabi.[20] Beliau diasuh dan dididik oleh Rasul sejak kecil. Iapun jadi pemeluk Islam pertama dari golongan anak-anak dan dijuluki si orang pintar oleh Rasul.
Ali bin Abu Thalib merupakan seorang para pendahulu Islam, salah seorang ulama yang tekun iabadah, pemberani, zuhud dan ahli dalam berpidato; salah seorang yang pernah mengumpulkan Al-Qur`an dan menunjukkannya kepada Nabi SAW. Dan menunjukkannya pula kepada beliau, Abdul Aswad ad Dauli, Abu Abdurrahman As Salma dan Abdurrahman bin Abu Laila. Ali adalah khalifah pertama dari bani Hasyim, nama panggilannya Abus Sibthain yakni Al Hasan dan Al Husain.[21] Ia adalah pahlawan Islam di medan perjuangan seperti Hamzah dan Umar. Ali adalah teman berdiskusi Abu Bakar dan Umar dan menjadi tokoh istimewa pada akhir pemerintahan Utsman.

2. Pengangkatan Ali
Setelah Utsman terbunuh  kelompok yang dari Mesir menganjurkan penduduk Madinah untuk membaiat pemimpin setelah Utsman, atau Ali, Thalhah dan Zubeirpun akan mereka bunuh. Akhirnya mereka mendatangi Ali untuk membaiat meskipun pada awalnya ia menolak. Tapi tidak ada lagi yang lebih pantas daripada dirinya, iapun bersedia dengan syarat dilakukan di mesjid, ia tidak mau ini dilakukan sembunyi-sembunyi.[22] Sikap ini menandakan bahwa ia sudah tahu bahwa apa yang akan terjadi tidaklah hal yang mudah diatasi.
Iapun di baiat di masjid pada hari jum’at 25 Dzul Hijjah 35 H. Tetapi pada pembaitan ini banyak para sahabat yang tidak ikut dan membaiat belakangan, seperti Thalhah, Zubeir dan lainnya. Dua orang inipun memberi baiah karena terpaksa oleh ancaman Hukaim Bin Jabalah yang diutus oleh orang Madinah. [23]
3. Dinamika sosial, ekonomi, agama, intelektual dan politik
Masa pemerintahan Ali penuh dengan perang sipil, Khalifah ini dihadapkan pada situasi politik yang genting, hal ini tentu berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat dan ekonomi mereka. Sejak awal pemerintahannya sudah terlihat gejala-gejala akan meletusnya perang sipil dan perang ini dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan sosial maupun agama, di satu pihak mereka juga sangat menghormat Ali. Kondisi yang seperti ini sangat menyengsarakan masyarakat.
Pada bidang ekonomi perang pasti berpangaruh negatif pada mayoritas punduduk, perdagangan menjadi lesu, ditambah lagi ulah para penteror yang sering merampas harta benda masyarakat yang bertujuan dagang maupun tidak[24]
Sebaliknya perpindahan ibukota membawa pengaruh yang positif untuk perdagangan paling tidak disekitar Kufah menjadi salah satu pusat peta perdagangan[25] dan peradaban kala itu. Ali juga Memperbaiki sistem pembagian faiy yang berlaku pada masa Utsman, ia tidak lagi menerapkan sentralisasi, tapi seluruh faiy dibagi secara merata kepada orang yang berhak[26].
Hal yang paling menonjol pada masa pemerintahan Ali adalah munculnya aliran dalam Islam yang berawal dari permasalahan politik seperti
a)      Khawarij yang muncul pertama kali setelah perang Shiffin. Pada awalnya adalah golongan politik yang tidak setuju dengan Ali. Akhirnya merekapun memberontak kepada Ali. Anggapan mereka bahwa semua yang ikut dan menyetujui tahkim adalah kafir dan layak dibunuh.
b)      Syi’ah adalah anti Khawarij, pada awalnya juga golongan politik sebagai tandingan Khawarij, mereka adalah yang membaiat Ali untuk kedua kalinya setelah masalah Tahkim. Tapi pada pertengahan masa pemerintahan Ali mereka mulai berubah menjadi golongan dalam agama karena anggapan mereka Ali lebih pantas menjadi khalifah.
c)      Mazhab Wishayah. Yaitu keyakinan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali agar melanjutkan kekhalifahannya. Mazhab ini adalah hasil rekayasa Abdullah bin Saba’.
d)      Mazhab Sabaiyah, pengikut  Abdullah bin Saba’, keyakinan golongan ini adalah adanya inkarnasi. [27]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar